Manajemen kebangsaan
Negara harus mampu hadir sebagai pengelola utama kebangsaan kita karena negara memiliki segenap peranti memadai dan cara yang absah untuk melakukannya. Dengan kata lain, manajemen kebangsaan perlu peran negara, tetapi bukan dalam konteks menghegemoni segala hal tanpa menyisakan ruang bagi publik berpendapat secara bertanggung jawab. Negara harus menciptakan iklim kondusif bagi demokrasi, kendatipun—dalam pengertian Max Weber—negara adalah entitas absah pengguna kekerasan. Pendekatan represif tentu bukan pilihan dan sangat tak populer dalam demokrasi, kendati sering kali negara menghadapi situasi yang dilematis.
Di zaman mengecambahnya hoax atau kabar bohong dewasa ini, manajemen kebangsaan yang demokratis dan partisipatif tentu bukan tugas ringan. Namun, negara, dalam hal ini termasuk TNI, perlu mendorong suatu prosestabayun (cek-ricek) dan dialog mendalam di tengah cuitan-cuitan sepintas lalu, tergesa-gesa, dan serba permukaan. Ini semua perlu kesabaran, sikap inklusif, imparsial, obyektif, dan etis semua pihak.
Panglima TNI telah memosisikan sebagai juru ingat melalui ceramah-ceramahnya tentang bahaya perang proksi agar bangsa ini tak mudah dipecah. Potensi perang proksi, terutama ditandai menajamnya konflik potensial antarkelompok di Indonesia yang majemuk, ini perlu ditangkal melalui implementasi demokrasi permusyawaratan Pancasila sebagai paradigma manajemen konflik kebangsaan. Saya rasa, hal ini selaras dengan semangat dan inti gagasan yang disampaikan panglima di banyak kesempatan.
M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional Jakarta
Anggota Lembaga Pengkajian MPR RI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 31 Januari 2017, di halaman 7 dengan judul "TNI, Perang Proksi, dan Demokrasi".