Menurut Tito, saat ini diperlukan adanya ideologi tandingan yang bersifat moderat untuk meredam maraknya penyebaran pemahaman radikalisme di masyarakat.
"Terorisme tidak bisa ditangkal hanya dengan menangkap dan menembak pelaku. Counter ideologi dilakukan dengan memoderasi narasi radikal mereka," kata Tito.
Tito menuturkan, peran para ahli agama sangat diperlukan untuk membantu pemerintah memberantas terorisme.
Sebab, penyebaran paham radilkal kerap dilakukan oleh kelompok teroris melalui narasi ideologi dengan mengutip ayat-ayat kitab suci yang multi-interpretasi.
Dia mencontohkan konsep Islam Nusantara di kalangan Nahdlatul Ulama yang merupakan salah satu contoh ideologi tandingan. Jika dilakukan secara intens, kata Tito, maka konsep Islam Nusantara bisa mencegah upaya radikalisasi kelompok teroris.
"Ini yang harus intens karena Islam Nusantara itu kan moderat dan berlandaskan kearifan lokal," ucapnya.
(Baca: Kapolri: Islam Nusantara Bisa Menangkal Radikalisme)
Namun, Tito menyayangkan karena penyebaran ideologi tandingan tersebut terkendala dengan adanya fenomena silent majority.
Meski kelompok moderat jumlahnya banyak, tetapi mereka cenderung diam ketika menemukan paham radikalisme menyebar di masyarakat.
(Baca juga: Tangkal Radikalisme, "Netizen" NU Kampanyekan #NUJagaNKRI)
Pada kesempatan yang sama, pengamat terorisme Al Chaidar mengatakan, program deradikalisasi yang penting dilakukan adalah kontrawacana.
Cara tersebut pernah dilakukan oleh Pemerintah Spanyol untuk meredam kelompok radikal yang menggunakan ayat-ayat kitab suci.
"Ini sama seperti di Indonesia. Wacana yang diturunkan membutuhkan interpretasi dan monolitik. Tetapi, di sini tidak ada yang melawan. Maka NU dan Muhammadiyah yang paling berpotensi karena umatnya banyak," ujar dia.
Reaksioner
Secara terpisah, pengamat pertahanan dan keamanan Mufti Makaarim mempertanyakan cetak biru Polri dalam menangani radikalisme.
Menurut Mufti, meski Tito memiliki pengetahuan mendalam soal terorisme, tetapi faktanya Polri terlihat gagap menghadapi aksi kelompok radikal yang menguat dalam tiga bulan terakhir.
"Cara-cara yang dilakukan terlihat reaksioner dan tidak sistematis berpotensi menimbulkan masalah. Seperti membiarkan bentrokan antar-ormas atau maraknya pelaporan terkait penistaan," ujar Mufti kepada Kompas.com, Kamis (19/1/2017).
Mufti mengatakan, saat ini fenomena hate speech atau ujaran kebencian terkait SARA patut menjadi perhatian Polri karena ujaran kebencian berpotensi menjadi ajakan ke arah radikalisme.
Selain itu, kata Mufti, penggunaan media demokrasi sebagai dalih kebebasan menyampaikan pendapat justru digunakan untuk mengancam kelompok minoritas. Hal itu kerap terjadi dan belum ditangani secara serius oleh Polri.
"Juga terkait data, Polri perlu membangun sinergi dengan berbagai kelompok yang memiliki concern sama dalam isu radikalisme sehingga bisa membantu mencari solusi komprehensif," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.