JAKARTA, KOMPAS.com - Dua tahun memerintah, Presiden Joko Widodo dinilai belum berhasil membangun konsolidasi demokrasi dengan baik. Ketimpangan demokrasi mengakibatkan situasi politik di penghujung 2016 mencemaskan.
Direktur PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, fenomena menguatnya intoleransi, penyebaran ujaran kebencian dan penyebaran berita hoax merupakan dampak dari ketimpangan demokrasi.
Ketimpangan tersebut bisa dilihat indikator kinerja DPR yang dinilai masih buruk dan korupsi di sektor birokrasi dan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik.
Sementara itu, di sisi lain, pemerintah berupaya meningkatkan kesejahteraan dengan kebijakan pembangunan infrastruktur.
Kebijakan ini menjadi terkesan populis sebab aspirasi politik masyarakat tidak tersalurkan oleh lembaga demokrasi seperti DPR dan partai politik.
"Demokrasi saat ini masih mengalami ketimpangan. Demokrasi dan politik mengalami krisis. Sistem demokrasi yang dibangun selama ini belum sepenuhnya berjalan," ujar Ari dalam sebuah diskusi bertajuk 'Politic Outlook 2017: Janji Berpolitik, Janji Berdemokrasi' di kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (13/1/2017).
Figur populis
Masyarakat pun beralih kepada figur populis dan ormas keagamaan yang populis ketimbang elite politik. Sayangnya figur-figur populis tersebut anti-demokrasi dan konservatif.
"Elite politik juga menjadi oportunis. Parpol banyak yang tidak jelas bersikap. Akhirnya muncul kepercayaan pada elite ormas agama. Mereka figur yang populis namun konservatif dan anti pada nilai-nilai demokrasi," ungkapnya.
Keadaan ini diperparah dengan lemahnya penegakan hukum. Dalam menjalankan perannya, aparat penegak hukum masih tunduk pada tekanan massa dan parlemen jalanan yang digalang oleh kelompok intoleran.
Ari berpendapat, jika pemerintah ingin memperkuat posisi kekuasaannya, maka Presiden Jokowi harus memprioritaskan konsolidasi demokrasi di 2017. DPR dan partai politik harus menjalankan peran substantifnya dan lembaga non-negara diberi ruang untuk menyalurkan aspirasi politiknya.
Jika konsolidasi demokrasi gagal, akan berakibat pada munculnya banyak figur populis anti-demokrasi yang menarik simpati dan dukungan dari masyarakat.
"Populisme dan konservatisme akan semakin kuat dan memenuhi ruang publik," kata Ari.
Pada kesempatan yang sama, pengamat Etika dan Komunikasi Politik Benny Susetyo berpendapat bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami kematian demokrasi. Kegagalan pemerintah membangun demokrasi menyebabkan munculnya kelompok-kelompok intoleran.
Di sisi lain, institusi negara tidak memberikan perlindungan bagi kelompok-kelompok minoritas.
"Tekanan massa atau kelompok intoleran itu yang menang, demokrasi menjadi mati," ujar Benny.
Posisi menguat
Sementara itu, pengamat politik dan keamanan Kusnanto Anggoro memprediksi posisi pemerintah akan menguat di pertengahan 2017. Dia menilai, saat ini politik sudah terkonsolidasi dengan baik. Sebagian besar fraksi di parlemen pun telah memberikan dukungan kepada pemerintah.
"Politik lebih terkonsolidasi, hubungan antara eksekutif dan legislatif terkendali. Jokowi mendapat dukungan besar dari parlemen," ujar Kusnanto.
Dari sisi kebijakan, Kusnanto menilai langkah pemerintah mempercepat pembentukan sejumlah lembaga adhoc untuk merespons berbagai persoalan sudah tepat. Pemerintah telah membentuk satuan tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli dan sedang menyiapkan beberapa badan lain, seperti Badan Siber Nasional, satgas Pengawasan Orang Asing dan Dewan kerukunan Nasional.
"Instrumen semakin kuat. Meski pembentukan satgas merupakan bersifat adhoc, tapi pemerintah akan lebih tegas dalam menghadapi tantangan ke depan," ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.