JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Epistema Institute Luluk Uliyah mengatakan, pengakuan hutan adat kepada sembilan masyarakat adat harus diikuti dengan program pemberdayaan dari pemerintah.
Program pemberdayaan ini penting agar masyarakat adat bisa merasakan manfaat langsung dari pengakuan hutan adat.
Apalagi, selama ini masyarakat adat telah menjaga kelestarian hutan milik mereka.
"Ada banyak yang bisa dimanfaatkan selain kayu dari hutan adat. Semisal madu hutan yang punya nilai ekonomi tinggi. Tapi masih harus difasilitasi oleh pemerintah juga supaya bisa luas efeknya," kata Luluk, saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (5/1/2017).
Program pemberdayaan ini harus melibatkan beberapa institusi terkait seperti Kementerian Desa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta institusi lainnya.
Masyarakat juga harus diarahkan agar bisa menjangkau pasar dari komoditas yang mereka manfaatkan di hutan adat.
"Kalau sudah begitu rasanya keberadaan hutan adat akan terus terjaga karena masyarakat tetap menjaga kelestarian hutan adat mereka sekaligus memperoleh penghidupan dari sana," ujar Luluk.
Sebelumnya, pada 30 Desember 2016, Presiden Jokowi menerbitkan Surat Keputusan (SK) pengakuan hutan adat seluas 13.122,3 hektar kepada sembilan kelompok masyarakat adat.
SK tersebut menjadi dasar hukum kepemilikan masyarakat di sembilan daerah hutan adat.
Sembilan hutan adat yang diakui kepemilikannya oleh negara yakni hutan adat yang terletak di Merangin (Jambi), Bulukumba (Sulawesi Selatan), Morowali Utara (Sulawesi Tengah), empat hutan adat di Kerinci (Jambi), Lebak (Banten), dan Humbang Hasudutan (Sumatera Utara).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.