Semua prinsip keyakinan dan kehati-hatian hukum di atas hadir dalam proses pidana, karena pemahaman dan kekhawatiran bahwa sanksi pidana akan membatasi, mengurangi bahkan “melanggar” HAM seseorang yang dinyatakan bersalah.
Dalam konteks inilah derajat putusan hakim, yang menerapkan aturan pidana, sama dengan undang-undang. Karena, hak asasi manusia hanya dapat dibatasi oleh aturan hukum sederajat undang-undang, yang dikeluarkan melalui proses legislasi di parlemen, yang juga melibatkan cabang kekuasaan eksekutif.
Dalam UUD 1945, pembatasan HAM yang hanya dimungkinkan oleh undang-undang itu diatur dalam Pasal 28J.
Namun, pembatasan itupun tidak berlaku dan dikecualikan untuk hak-hak dasar yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28i UUD 1945, yaitu: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Kembali ke persoalan dugaan tindak pidana penodaan agama dan makar. Tantangannya adalah untuk membuktikan dan meyakinkan tanpa keraguan bahwa yang terjadi adalah betul-betul tindak pidana, dan bukanlah bentuk perbedaan pendapat—atau bahkan hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, yang tidak dapat disimpangsi dalam keadaan apapun, dan karenanya adalah HAM yang tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Saya serahkan kepada ahli pidana dan majelis hakim untuk memutuskannya dengan ekstra hati-hati.
Sebagai catatan penutup, sekali lagi karena prinsip kehati-hatian dan keyakinan, maka suatu kasus pidana tidak harus selalu berujung dengan putusan palu hakim di persidangan.
Jika dalam proses berjalan, sebelum putusan persidangan, timbul keraguan atau kurangnya kualitas pembuktian, maka demi alasan hukum, suatu kasus pidana dapat dihentikan pada saat penyidikan (SP3), penuntutan (Surat Ketetapan Penghentian Penunturan), ataupun dengan alasan kepentingan umum, melalui deponeering yang dikeluarkan Jaksa Agung.
Mekanisme demikian adalah instrumen hukum yang disediakan, untuk menjamin hanya pelaku kejahatan yang benar-benar bersalah saja yang dijatuhkan hukuman, yang dibatasi, dikurangi bahkan “dilanggar” jaminan perlindungan hak asasi manusianya.
Keep on fighting for the better Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.