Pilkada serentak 2017 sudah mulai berlangsung namun mata dan telinga kita terpaksa fokus pada Pilkada DKI saja. Hal ini wajar mengingat, mayoritas media mainstream ada di Jakarta dan yang pasti DKI sebagai Ibukota adalah mahkota kekuasaan Indonesia.
Tak heran jika dinamika berpolitik di Jakarta secara tak tertulis seperti formula realitas yang wajib dipadupadankan setiap calon, meski, kadang tak cocok dengan karakter berdemokrasi di daerah lain. Jika diilustrasikan, serupa mendengarkan radio atau televisi di daerah yang memaksakan lidah penyiarnya ber-elu gue.
Jika kita tarik ke belakang, Joko Widodo atau Jokowi dalam Pilkada DKI 2012 menjadi role model, kampanye-kampanye di Pilkada lain melalui narasi blusukan yang mengupayakan kedekatan (approximity) menjadi antitesis petahana Fauzi Bowo. Narasi yang rupanya sudah menjadi formula yang wajib direplikasi pada Pilkada kali ini.
Pilihan yang wajar mengingat DKI yang urban apapun tetap kental dengan wajah ruralnya. Meminjam istilah almarhum sosiolog Selo Sumardjan, saya cenderung melihat Jakarta tetap kental dengan pola budaya geimenschaff, dan bukan geisselschaff seperti di Ibukota modern di negara-negara lain.
Meski benar, di Jakarta, kapitalisme mulai menjadi satu tekanan yang meredefinisi sekaligus merenegosiasi nilai-nilai penguat ikatan batin yang memberi makna pada hidup dalam budaya tradisi geimenschaff. Akibatnya muncul kesendirian. Atau yang setingkat lebih parah dan mungkin juga lebih tepat, keterasingan yang kerap dimanipulasi melalui jumlah pertemanan dalam media sosial.
Munculnya Jokowi dengan blusukan-nya seperti menyadarkan publik politik bahwa tradisi bertegur sapa dan kontak fisik masih menjadi kebutuhan masyarakat Jakarta. Suatu konsep yang menurut saya cukup kurang masuk akal jika dihadapkan pada efektifitas dan efisiensi pemerintahan.
Bayangkan jika pemimpin dituntut asyik blusukan secara langsung, sementara ada pertemuan bersifat sangat vital dan strategis yang menuntut kepemimpinannya. Hal inilah yang kemudian melahirkan e-blusukan saat Jokowi menjadi Presiden atau sistem pelaporan via Qlue yang diterapkan Pemda DKI.
Kembali soal Pilkada DKI dan blusukan yang sampai saat ini masih menjadi andalan pola kampanye para calon Gubernur, rupanya mulai terjadi antitesis strategi tersebut, meski dilakukan akibat ‘kecelakaan’ lidah petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang kemudian menimbulkan demonstrasi besar-besaran akibat dugaan penistaan agama.
Adanya narasi penolakan masyarakat, bahkan mulai anarkistis, terhadap Ahok dan pasangannya, Djarot Saiful Hidayat memunculkan ide Balai Rakyat Rumah Lembang tempat simpatisan dan masyarakat bertemu dan mengadukan persoalannya langsung kepada calon Gubernur Basuki.
Strategi yang dilancarkan Rumah Lembang, salah satu posko pemenangan pasangan Basuki-Djarot, sejatinya bukan sesuatu yang baru karena Rumah Rakyat sejatinya adalah memindahkan kebiasaan Basuki-Djarot yang menemui masyarakat di Balaikota DKI setiap pagi.
Namun Balai Rakyat Rumah Lembang memiliki karakteristik yang lebih serupa “town hall meeting” yang dirancang sebagai acara pertemuan umum dan bersifat informal, terbuka untuk komunitas dan dilakukan di balai pertemuan.
Istilah tersebut pertama kali digunakan oleh orang-orang Amerika yang tinggal di koloni New England, kemudian populer diterapkan pada semua pertemuan umum baik yang dilakukan oleh pemerintahan kepada rakyatnya maupun perusahaan kepada karyawannya.
Town hall meeting, selain digunakan untuk menyosialisasikan kebijakan atau mengampanyekan program yang dibuat oleh pimpinan atau kandidat, di dalam pertemuan itu hadirin dapat dengan bebas menyuarakan pendapatnya atau bertanya.
Menghindari friksi terbuka
Pada kultur Indonesia, khususnya geimenschaff, town hall meeting hall dilakukan di balai desa, baik dilakukan secara periodik maupun pada saat terdapat isu yang perlu disampaikan.
Baru sepekan dijalankan Balai Rakyat Rumah Lembang yang intim memiliki potensi menjadi alternatif model kampanye blusukan yang terbuka.
Dalam catatan saya, model kampanye town hall meeting rupanya sudah menjadi aspirasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), khususnya untuk daerah yang selama ini rawan konflik ketika dilakukan kampanye terbuka.
Hal ini tidak lepas dari warisan modal berpolitik masyarakat Indonesia yang tereduksi selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru dengan konsep massa mengambang, di mana partai politik diasingkan dari masyarakat akar rumput yang perlahan-lahan tergerus kadar ideologinya.
Tipisnya ideologi kepartaian ini dapat dilihat dari kerapnya baku hantam antar simpatisan partai, samarnya ideologi partai-partai yang ada, kecuali PKS, bahkan fakta yang lebih aktual adalah dari tiga calon Gubernur DKI, tidak satupun lahir dari rahim partai.
Alhasil dalam pertarungan Pilkada DKI, kecenderungan yang terjadi bukan debat ideologi namun tak lebih pada demokrasi semu yang terjadi sejak Pemilu 2004, masyarakat secara sadar tidak memilih ideologi maupun program yang ditawarkan namun menentukan pilihan semata-mata terhadap calon pemimpin yang cenderung lebih populer. Berkat banjir iklan dan pemberitaan? Bisa jadi benar!
Namun dalam kondisi saat ini, ketika media sosial sedemikian dominan dan memungkinkan pesan-pesan teramplifikasi secara masif rupanya terdapat kecenderungan timbulnya kejemuan (boredom) terhadap politik yang tidak boleh diabaikan semua pihak.
Belum lagi fakta persaingan media massa telah berdampak pada kesinambungan konflik dan karena tuntutan untuk selalu menjual (marketable), metode persaingan itu secara sadar menyuburkan iklim provokasi yang membaurkan realitas simbolik.
Media yang harusnya mengabarkan fakta secara obyektif, justru melihat fakta-fakta secara subyektif dan terjebak pada simbol, dan bisa jadi belum tentu benar.
Repotnya, derasnya informasi media mainstream tersebut turut diamplifikasi secara cepat dan masif oleh media sosial yang rupanya menurut duet peneliti Van Tilburg dan Eric Igou dalam Jurnal Psikologi Sosial Eropa pada Juni lalu menjadi pemicu kejemuan masyarakat terhadap politik.
Kejemuan ini yang menyebabkan putusan masyarakat Inggris memilih keluar dari Uni Eropa, sementara fenomena yang sama diduga yang menjadi penyebab kemenangan Donald Trump dalam Pemilu di Amerika.
Masyarakat Amerika yang jenuh politik memilih tak menyuarakan suaranya, sementara yang tak kuat diterpa badai informasi secara sadar mengikuti narasi besar yang ditiupkan Trump yang paham luar dalam media.
Pilkada DKI masih menyisakan kurang dari tiga bulan sebelum waktu pemilihan, melihat kecenderungan badai informasi tersebut, pantas dikhawatirkan stamina psikis masyarakat akibat masifnya pertukaran pesan dari gelanggang politik yang masing-masing memiliki kebenarannya.
Jika psikis masyarakat tak kuat, bisa jadi hasil akhir Pilkada DKI bakal sama mengejutkannya dengan Pemilu Amerika, namun bisa jadi tensi tersebut diturunkan lewat kampanye calon Gubernur yang memilih berdialog dengan masyarakat dalam ruang yang lebih intim.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.