JAKARTA, KOMPAS.com - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta semua pihak tidak menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan.
Hal itu disampaikan Ketua Umum AJI Indonesia, Suwarjono menanggapi adanya peristiwa kekerasan verbal maupun nonverbal yang terjadi di berbagai daerah dalam rangakaian demo 4 November 2016, Jumat (4/11/2016), lalu.
Suwarjono menjelaskan, aktivitas jurnalistik di tengah masyarakat merupakan tindakan yang dilindungi undang-undang.
Jurnalis juga sebagai mata dan telinga publik dalam mengabarkan fakta.
"Semua pihak harus memahami kerja jurnalis sebagai mata dan telinga publik. Jurnalis bekerja dilindungi undang-undang. Semua hal menyangkut sengketa pemberitaan, ada mekanisme sebagaimana diatur UU Pers," kata Suwarjono melalui keterangan tertulisnya, Minggu (6/11/2016).
"Bisa menempuh hak jawab, hak koreksi hingga mengadukan ke Dewan Pers bila pihak yang bersengketa belum menemukan titik temu. Oleh karena itu, setop menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan," tambah dia.
(Baca: Din Syamsuddin: Kamerawan Kompas TV Bukan Provokator)
AJI Indonesia mencatat, setidaknya ada tiga jurnalis televisi menjadi korban kekerasan. Seperti, rombongan kru dari sebuah stasiun televisi diusir dari Masjid Istiqlal karena dianggap membela kelompok tertentu.
Kemudian, peristiwa pelemparan batu yang mengarah ke kelompok jurnalis yang meliput situasi unjuk rasa saat terjadi bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran.
Sementara di Medan, Sumatera Utara, rombongan jurnalis dari sebuah stasiun televisi juga mengalami hal yang sama, yakni diusir dari lokasi digelarnya unjuk rasa 4 November.
Menurut Suwarjono, provokasi menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan mulai terjadi beberasa hari sebelum unjuk rasa 4 November itu digelar.
Misalnya, beredar meme yang menyebut media tertentu yang berseberangan dengan aspirasi pengunjuk rasa.
"Artinya, sejak awal ada suasana kebencian pada media yang dibangun. Ini gejala buruk yang merusak kebebasan pers di Indonesia. Dan puncaknya terjadi saat hari H," kata Suwarjono.
Sementara itu, Ketua Bidang Advokasi Iman D Nugroho menjelaskan, ada ketentuan pidana bagi pihak-pihak yang menghalang-halangi kerja jurnalistik.
Hal itu diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. "Siapa pun yang menghalang-halangi, diancam hukuman dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta rupiah. Ini tidak main-main." kata Iman.