JAKARTA, KOMPAS.com - Selama dua tahun memerintah, Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dinilai masih belum menyeriusi upaya penegakan hak asasi manusia (HAM).
Pemerintahan dinilai tak berupaya untuk menuntaskan pelanggaran HAM, baik di masa lalu maupun masa kini.
Padahal, kata Direktur Riset Setara Institute, Ismail Hasani, saat kampanye di Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Seperti kerusuhan Mei 1998, Trisakti-Semanggi I dan II, penghilangan paksa, Talangsari-Lampung, Tanjung Priok, dan peristiwa 1965.
"Pemerintah hingga saat ini belum menunjukkan indikasi keseriusan dalam upaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Menurut kami nilai empat sudah terlalu bagus dalam upaya penegakan HAM di era Jokowi-JK ," ujar Ismail di Kantor Setara Institute, Jakarta, Minggu (23/10/2016).
Ismail mengatakan, ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM salah satunya terlihat dari kaburnya upaya penuntasan peristiwa 1965.
Menurut Ismail, upaya pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto dalam menyelesaikan tragedi 1965, dengan jalur non yudisial, hingga hari ini masih belum jelas konsep dan arah tujuannya.
"Bahwa Pak Wiranto mengatakan akan membentuk badan non yudisial, sampai sekarang arahnya pun tidak jelas. Dan sulit orang bisa percaya dengan Pak Wiranto karena dia diduga menjadi bagian peristiwa pelanggaran HAM," ucap Ismail.
Terlebih, lanjut Ismail, upaya kelompok masyarakat mengadvokasi penuntasan tragedi 1965 kerap dikriminalisasi oleh aparat penegak hukum.
"Setidaknya terdapat delapan pembubaran kegiatan kebebasan berekspresi karena dianggap menyebarkan paham komunisme," tutur Ismail.
Selain itu, Ismail juga menganggap ketidakseriusan pemerintah juga hadir melalui masalah ketiadaan dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan aktivis HAM, Munir Said Thalib.
"Bahkan sekadar menjaga dokumen TPF Munir pun negara ini tidak mampu," ucap Ismail.
Ismail juga mempertanyakan komitmen Jokowi untuk mereformasi peradilan militer. Menurut Ismail, peradilan militer menjadi salah satu dasar pelanggaran HAM.
Ini disebabkan peradilan militer menjadi sumber impunitas Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang melakukan kejahatan.
"Jokowi berjanji akan merevisi Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Akan tetapi dua tahun memimpin indikasi reformasi peradilan militer tersebut tidak pernah terjadi," kata Ismail.
Menurut Ismail, selama dua tahun berkuasa pemerintahan Jokowi-JK justru memberikan keistimewaan terhadap TNI dalam berbagai operasi militer selain perang (OMSP).
Ini ditunjukkan melalui terbitnya 35 kesepakatan bersama antara TNI dengan berbagai kementerian. Juga, wacana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
"Justru sebaliknya, perluasan peran TNI terjadi di era Jokowi-JK. Pelibatan semacam ini secara sistemik dapat merusak sistem keamanan dan penegakan hukum," tutur Ismail.