JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda menyarankan Komisi Pemberantasan Korupsi "jemput bola" dengan mendatangi langsung terperiksa, khususnya calon tersangka, dalam proses penyelidikan.
Hal tersebut dia utarakan saat menjadi ahli yang diajukan dalam sidang praperadilan Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam.
Lalu, Hakim tunggal praperadilan, I Wayan Karya, mempertanyakan dasar hukum pendapat Chairul itu.
"Itu pendapat saya, berdasarkan KUHAP. Dalam pandangan saya sebagai ahli, ada perintah aktif bagi penyelidik untuk mencari peristiwa pidana," ujar Chairul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (6/10/2016).
Chairul mengatakan, karena ada perintah aktif tersebut, maka penyelidik dituntut melakukan upaya agar keterangan dari terperiksa, khususnya calon tersangka, bisa didapatkan untuk melengkapi alat bukti.
Lain halnya dengan tingkat penyidikan di mana penyidik bisa melakukan upaya paksa untuk menghadirkan saksi.
(Baca: Ahli Anggap Harusnya KPK "Jemput Bola" Minta Keterangan Nur Alam Saat Penyelidikan)
Hakim pun mengingatkan Chairul mengenai adanya prosedur yang berlaku di masing-masing instansi.
"Bagaimana kalau dalam lembaga itu ada SOP soal permintaan keterangan dalam penyelidikan?" tanya hakim Wayan.
Chairul berpendapat, SOP dalam suatu instansi sifatnya tidak mengikat, hanya sebagai pedoman untuk beroperasi.
Menurut dia, selama tidak melanggar undang-undang, penyelidik dan penyidik bisa bertindak di luar SOP.
"Yang menilai suatu tindakan hukum sah atau tidak adalah hukum acara pidana. SIP hanya jadi pedoman," kata dia.
Sebelumnya, tim pengacara Nur Alam memprotes penetapan tersangka kliennya tanpa terlebih dahulu adanya permintaan keterangan.
Menurut pengacara Nur Alam, Maqdir Ismail, dua alat bukti tak tercukupi jika tanpa keterangan dari terperiksa yang diduga kuat dijadikan tersangka dalam kasus itu.
Sebenarnya KPK telah empat kali melayangkan undangan permintaan keterangan kepada Nur Alam.