JAKARTA, KOMPAS.com – Pengamat politik dari Indo Barometer, M Qodari mengatakan, media sosial saat ini menjadi tempat efektif untuk menyuarakan segala hal daripada media konvensional.
Selain memiliki jaringan yang lebih luas, hampir semua orang saat ini memiliki akun media sosial.
Berbeda dengan media konvensional, apa yang dipublikasikan di media sosial tak dapat dipertanggungjawabkan.
Oleh karena itu, ia mengingatkan maraknya kampanye hitam melalui media sosial menjelang pelaksanaan pilkada serentak 2017.
Apalagi, pemilik akun pada media sosial tak bisa dipastikan asli atau tidak sehingga akan sulit untuk meminta pertanggungjawaban jika dianggap merugikan.
“Kalau media konvensional kan jelas orangnya bisa ketahuan, medianya ketahuan, kalau menulis by line. Kalau sosial media tiddak jelas. Karena tidak jelas, dia mengalami fenomena anonimitas,” kata Qodari, dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Kamis (29/9/2016).
Ketidakjelasan akun media sosial ini, lanjut dia, menimbulkan kekhawatiran sendiri.
“Harus diakui, sosial media berbahaya secara inheren. Perkembangan media sosial di tahun 2015 bahkan kurang menggembirakan. Dari media sosial menjadi media asosial bahkan anti sosial,” ujar dia.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai, keberadaan fenomena kampanye hitam di media sosial sulit dihindari.
Pesatnya perkembangan teknologi, seperti smartphone, membuat penyebaran kampanye hitam di masyarakat menjadi lebih mudah.
“Kalau negative campaign mungkin masih tidak masalah karena memakai fakta, tapi kalau black campaign itu yang tendensinya sudah fitnah. Dan itu sulit dihindari,” kata dia.
Masinton juga mengingatkan agar publik mengindahkan etika saat mengunggah postingan di akun media sosial.
“Kami juga berharap agar aparat penegak hukum dapat mengkategorisasi mana yang negatif, mana yang black campaign. Kalau ada penghinaan, pencemaran nama baik, klasifikasinya jelas,” kata dia.
“Jangan yang tidak melanggar hukum dibawa ke ranah hukum. Jangan juga sampai membatasi kebebasan berpendapat orang,” ujarnya.
Sementara itu, Analis Kebijakan Madya Polri Kombes Pol Rikwanto mengatakan, segala bentuk pencemaran nama baik yang tanpa didasari fakta merupakan tindakan pidana dapat dijerat hukum.
Pelaku diancam dengan hukuman sembilan bulan penjara sebagaimana diatur KUHP, atau enam tahun penjara apabila tindakan itu diunggah ke media sosial, seperti diatur dalam UU ITE.
Kepolisian, kata Rikwanto, sebenarnya telah menyadari adanya perubahan signifikan dalam pola kampanye pasangan calon.
Cara konvensional, kampanye dilakukan dengan mengerahkan massa di lapangan terbuka, membawa spanduk dan alat peraga kampanye lainnya.
Kini, kampanye juga dilakukan di media sosial karena cukup efektif.
“Dengan menciptakan opini, namun dalam praktiknya kebablasan. Tidak ada tolak ukur, sopan santun, caci maki, dan menjadikan orang public enemy,” kata dia.
Ia mengatakan, Polri kini telah dilengkapi dengan polisi siber yang selama 24 jam mengontrol publikasi kampanye hitam dan ujaran kebencian di dunia maya.
Para polisi ini telah dilatih, tak hanya untuk menemukan dan menghukum pelaku, tetapi juga memediasi dan memberikan pengarahan agar masyarakat tidak menyebarkan kampanye hitam.
“Jadi mereka tidak terlepas dari pengawasan kami agar tidak kebablasan,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.