Menurut dia, putusan itu selalu dilakukan melalui pertimbangan hukum yang detail. Ia pun menampik anggapan yang menyebut dirinya tak pernah membaca berkas perkara.
"Itu bukan keputusan saya. Kita mengikuti perdebatan majelis yang sangat mendalam, intens. Anggota majelis saya antara lain MS Lumme, hakim karier yang kini menjadi hakim ad hoc; Profesor Krisna Harahap; dan Profesor Abdul Latief. Orang yang menyebut itu sebagai putusan saya tidak tahu sebenarnya atau sok tahu. Putusan saya, paling tidak, ada pertimbangan hukumnya sampai detail. Saya ini advokat dulu, dan saya tahu betul metode membaca berkas-berkas ini, serta bergumul dengan bagaimana caranya banding atau kasasi," ungkapnya.
Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko sependapat dengan Artidjo soal konsistensi pencabutan hak politik koruptor.
"Bagian tidak sepakatnya, ada putusan-putusan yang dulu pemidanaan berat-ringannya hukuman merupakan wewenang judex facti (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) sekarang berpindah ke judex juris (Mahkamah Agung). Saya sependapat dengan itu asalkan pasal yang terbukti di pengadilan tingkat satu, banding, dan kasasi ini berbeda," tuturnya.
Kejahatan yang merusak
Ditanyai soal vonis-vonis berat itu, Artidjo rileks menyampaikan, dirinya sering memberikan putusan bebas kepada orang-orang yang dinilainya tidak bersalah. Menurut Artidjo, dirinya bukan algojo.
"Saya bukan algojo. Saya penegak hukum yang konsisten. Konsisten dengan aturan hukum yang berlaku. Jadi, hukum itu memutus demi keadilan dan kebenaran," katanya.
Artidjo menguraikan kebenaran sebagai fakta satu yang berkaitan dengan fakta-fakta lainnya yang terungkap di pengadilan.
Adapun keadilan adalah perasaan batin dari kebenaran itu sendiri. Keadilan letaknya di dalam hati.
"Artinya, hakim itu harus memutuskan perkara berdasarkan hati nurani," ujarnya.
Pembacaan atas fakta-fakta itu antara hakim kasasi dan hakim di bawahnya bisa jadi berbeda. Artidjo menyebutkan, acap kali pasal yang digunakan pada tingkat pertama dan banding lebih ringan dibandingkan dengan pasal yang dipakai majelis kasasi.
Majelis hakim di bawah lebih sering menggunakan Pasal 2 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi daripada Pasal 3.
Hukuman Pasal 2 minimal 1 tahun penjara, sedangkan Pasal 3 minimal 4 tahun penjara. Telah ada kesepakatan di kamar pidana MA, korupsi di atas Rp 100 juta bisa dikenai dengan Pasal 3 karena signifikan memperkaya diri sendiri atau korporasi.
Di luar pertimbangan legal-formal, Artidjo memandang korupsi sebagai kejahatan yang merusak negara, masa depan bangsa, dan berdampak multidimensi.
Lebih-lebih jika yang korupsi adalah orang yang memiliki kekuatan politik. Pencabutan hak politik koruptor oleh karena itu menjadi perlu.
"Agar rakyat tidak tertipu memilih orang yang cacat karena melakukan korupsi," ujarnya.