Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Munculkan Ambang Batas Pilpres 2019, Pemerintah Dinilai Bawa Kepentingan Parpol

Kompas.com - 15/09/2016, 08:24 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia Effendi Ghazali mengkritisi langkah pemerintah yang memunculkan kembali ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold di pemilu 2019 mendatang.

Padahal, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dari gugatan yang diajukannya terhadap Undang-Undang nomor 42 tahun 2008, sudah ditetapkan bahwa pemilu legislatif dan pemilu presiden mulai 2019 digelar secara serentak.

(Baca: Gugatan UU Pilpres Dikabulkan, Pemilu Serentak 2019)

"Ketentuan itu bertentangan dengan alasan saya mengajukan judicial review sekaligus alasan MK mengabulkan judicial review," kata Effendi saat dihubungi, Rabu (14/9/2016).

Dengan putusan MK soal keserentakan itu, kata dia, harusnya pemerintah menghapus ketentuan ambang batas perolehan suara di pemilu legislatif sebagai syarat parpol mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Jika ambang batas dimunculkan dengan menggunakan hasil pemilu legislatif 2014, maka ia menilai bahwa revisi UU Pemilu yang diajukan pemerintah saat ini membawa kepentingan parpol.

Sebab, parpol akan tetap diuntungkan apabila ambang batas tetap ada. Parpol jadi punya kuasa lebih untuk mengusung capres sehingga praktik tawar menawar rentan terjadi.

"Harusnya semua pihak membaca alasan permohonan judicial review saya dan alasan MK mengabulkannya, seperti menghindari politik uang, menghindari soal like or dislike dalam penentuan capres, menghindari menghalangi hak orang maju menjadi capres lewat syarat yang dipersulit melalui presidential threshold," ucap Effendi.

Selain bertentangan dengan putusan MK, Effendi juga menilai usulan pemerintah memunculkan ambang batas ini bertentangan dengan amandemen terakhir Undang-Undang Dasar 1945.

Effendi mengaku sudah mempelajari 18 buku soal proses amandemen.

Dari situ jelas tergambar, mulai dari rapat terbawah sampai paripurna, didiskusikan bahwa calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politk.

Tidak ada ketentuan mengenai ambang batas. Bahkan sudah ada pembahasan mengenai calon presiden perseorangan dalam proses amandemen, namun saat itu disimpulkan belum waktunya dilakukan.

"Hari gini membicarakan presidential threshold, artinya sarat kepentingan. Padahal kalau ada makin banyak capres makin baik untuk bangsa, kan makin bagus," ucap Effendi.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo s karena pada 2019, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden digelar serentak sesuai deebelumnya mengungkapkan, hasil Pileg 2014 digunakan sebagai syarat pencalonan presidenngan putusan Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, hasil Pileg 2019 tidak bisa digunakan untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Soal 'Presidential Club', Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Soal "Presidential Club", Golkar Yakin Prabowo Bisa Menyatukan para Presiden Terdahulu

Nasional
Tanggapi Isu 'Presidential Club', PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Tanggapi Isu "Presidential Club", PDI-P: Terlembaga atau Ajang Kongko?

Nasional
Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Cak Imin Sebut PKB Jaring Calon Kepala Daerah dengan 3 Kriteria

Nasional
Golkar: 'Presidential Club' Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Golkar: "Presidential Club" Bisa Permudah Prabowo Jalankan Pemerintahan

Nasional
Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Jokowi Diprediksi Gandeng Prabowo Buat Tebar Pengaruh di Pilkada 2024

Nasional
Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Kans Parpol Pro Prabowo-Gibran Dengarkan Jokowi Tergantung Relasi

Nasional
Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di 'Presidential Club'

Demokrat Yakin Jokowi-Megawati Bisa Bersatu di "Presidential Club"

Nasional
Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk 'Presidential Club', Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Sebut SBY Setuju Prabowo Bentuk "Presidential Club", Demokrat: Seperti yang AS Lakukan

Nasional
Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Jokowi Diperkirakan Bakal Gunakan Pengaruhnya di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Soal Kemungkinan Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin: Kita Lihat pada 20 Oktober

Nasional
Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Kementerian PPPA Akan Dampingi Anak Korban Mutilasi di Ciamis

Nasional
'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com