Jangan yang dibayangkan disini adalah sosok negara 'sok tahu', totaliter dan mendominasi kebenaran. Namun yang kita harapkan adalah negara yang informatif, melindungi dan bertanggung jawab.
Pemerintah harus melindungi kebutuhan atas informasi yang benar untuk kepentingan rakyat. Bukankah tugas negara adalah melakukan sosialisasi.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi, partisipatoris, informatif dan transparan seperti saat ini, justru yang dibutuhkan adalah negara yang jujur, rasional dan bekerja secara benar (good democratic governance).
Sebagai contoh, asumsi mengenai tingginya konsumsi minuman beralkohol oleh remaja mendorong publik untuk mengusulkan pelarangan produksi dan penjualannya.
Padahal Permendag No. 20 Tahun 2014 Tentang Pengendalian dan Pengawasan Terhadap Pengadaan, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol mengatur bahwa minuman beralkohol hanya boleh dikonsumsi oleh orang yang berusia di atas 21 tahun.
Artinya, secara regulasi pemerintah sudah menentukan batas usia legal untuk membeli dan mengkonsumsi minuman beralkohol, namun masih lemah dalam sosialisasi dan implementasinya.
Isu pro kontra ini muncul bersamaan dengan keberadaan pembahasan RUU Larangan Minum Beralkohol di DPR. Isu ini harus mendapatkan kajian yang objektif terkait peran regulatif negara dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi minuman beralkohol.
Isunya bukan melarang, namun mengatur. Sama halnya dengan katakanlah Malaysia dan Turki yang sama-sama berpenduduk mayoritas muslim.
Dalam konteks Indonesia, isu lainnya adalah melindungi, mengingat tingginya jumlah kematian akibat warga yang mengkonsumsi minuman oplosan.
Jika minuman beralkohol dilarang, maka yang untung adalah jaringan mafia karena nyatanya kebutuhan konsumsi di masyarakat tetap tinggi.
Hal ini penting diangkat mengingat kepentingan nasional terkait pemasukan cukai minuman beralkohol cukup besar. Apalagi sebagai negara yang plural, sebagian rakyat kita hidup secara erat dengan tradisi minum.
Dalam isu-isu publik yang sulit seperti inilah, pentingnya kehadiran negara untuk menunjukkan sikap politik dan rasionalitasnya secara tegas.
Tahapan selanjutnya adalah kalkulasi dampak. Dalam fase ini pemerintah harus mampu melakukan kalkulasi dampak dari setiap kebijakan yang dilakukan agar tidak malah memberikan implikasi yang buruk bagi masyarakat Indonesia pada umumnya.
Dalam kondisi yang serba kompleks ini, pemerintah harus mampu mencari jalan keluar terbaik tanpa merugikan pihak masyarakat pada umumnya dan negara secara keseluruhan.
Kalkulasi dampak seringkali absen dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah kerap partisan dan rentan terhadap kepentingan-kepentingan partikularisme ekonomi politik tertentu untuk mengamankan kekuasaan rezim.
Tahapan ketiga yaitu pelaksanaan. Diperlukan untuk bisa meyakinkan seluruh pihak-pihak yang berkepentingan bahwa kebijakan yang akan diputuskan merupakan solusi terbaik atas permasalahan yang diresahkan oleh publik.
Kehadiran negara dalam diskursus publik diharapkan dapat meminimalisir kekisruhan yang akhir-akhir ini kerap terjadi.
Negara tidak boleh membiarkan diskursus yang terjadi di publik semakin berlarut dan mendorong publik untuk menyelesaikan permasalahan dengan caranya masing-masing (anarkisme).
Peran negara yang bijak membaca gejala-gejala sosial yang muncul di masyarakat sesungguhnya menunjukkan kapasitas dan kemampuan negara melakukan langkah-langkah antisipatif dalam melayani dan melindungi rakyatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.