JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus pembunuhan terhadap aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib masih menyisakan sejumlah kejanggalan dan pertanyaan.
Direktur Imparsial Al Araf mengatakan, sejak 12 tahun Munir dibunuh, hingga saat ini belum terungkap mengenai siapa pelaku intelektual kasus tersebut.
Menurut Araf, proses investigasi dan hukum kasus Munir seharusnya tidak berhenti pada sosok Pollycarpus.
Dia mengungkapkan, hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir yang dibentuk pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjukkan adanya dugaan keterlibatan oknum Badan Intelijen Negara yang menjabat saat itu.
Araf meyakini pembunuhan Munir dilatarbelakangi unsur politik yang melibatkan unsur negara.
"Hanya Pollycarpus yang pernah dihukum. Sedangkan Kasus Munir terkait politik, anggota TPF bilang pelaku tidak tunggal," ujar Araf, di kantor Imparsial, Jakarta Selatan, Selasa (6/9/2016).
"Ada dugaan okbum BIN saat itu terlibat. Kasus Munir belum tuntas," kata dia.
Araf pun mendesak mendesak agar Presiden Joko Widodo membuka hasil temuan TPF kasus Munir dan menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut.
Hasil penyelidikan TPF, kata Araf, sejatinya bisa menjadi awal untuk membuka kembali dan mengungkap dalang pembunuh Munir.
(Baca juga: Usman Hamid Sebut Hasil Investigasi TPF Ungkap "Dalang" Pembunuhan Munir)
Araf menuturkan, hasil temuan itu sangat penting karena mengindikasikan adanya sejumlah kejanggalan sekaligus dugaan kuat bahwa pembunuhan itu melibatkan pelaku intelektual dalam institusi intelijen negara.
"Kami mendesak Presiden Joko Widodo membuka hasil temuan TPF kasus Munir untuk menelusuri siapa auktor intelektual sebenarnya," kata Araf.
Selain itu, Imparsial juga mendesak Presiden Jokowi membentuk tim independen baru dalam upaya mengusut secara tuntas kasus pembunuhan Munir.
Sebab, Araf melihat saat ini aparat penegak hukum tidak bisa diandalkan untuk menyelesaikan kasus tersebut.
"Di tengah dugaan adanya keterlibatan intelijen dan aparat penegak hukum tidak bisa dipercaya serta diandalkan, maka Presiden harus membentuk tim independen baru," ucapnya.
(Baca: Mengenang 12 Tahun Kepergian Munir...)
Lemahnya komitmen pemerintah
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, kasus pembunuhan Munir yang terus berlarut dan tidak kunjung tuntas selama 12 tahun menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah dalam penegakan HAM di Indonesia.
Padahal saat masa kampanye Pilpres, Presiden Jokowi pernah berjanji akan mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM, termasuk kasus pembunuhan Munir dan hilangnya seniman Wiji Thukul.
Menurut dia, upaya mengungkap kasus ini secara tuntas dan mengadili dalangnya bukan hanya akan menunjukkan keseriusan pemerintah. Namun, ini juga menjadi tolok ukur bagi Indonesia sebagai negara demokrasi yang melindungi HAM.
"Pengusutan kasus pembunuhan Munir masih mandek. Auktor intelektual masih belum diadili," kata Gufron.
"Jokowi harus mendorong penuntasan kasus HAM dan dia harus mengingat janji soal penuntasan kasus HAM," tuturnya.
Munir dibunuh dengan racun yang dimasukkan ke dalam makanannya dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam dengan pesawat Garuda Indonesia GA 974 pada 7 September 2004.
Dalam pengadilan kasus itu, mantan pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto, divonis penjara selama 14 tahun. Pollycarpus telah bebas bersyarat seusai menjalani masa hukuman 8 tahun.
Jika hasil temuan TPF kasus Munir menunjukkan adanya keterlibatan pelaku intelektual dalam institusi intelijen negara, lalu siapa pembunuh Munir sesungguhnya? Selama 12 tahun, misteri iu memang belum terjawab.