JAKARTA, KOMPAS.com - Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Rohadi, didakwa menerima suap sebesar Rp 50 juta dari kakak Saipul Jamil, Samsul Hidayatullah dan pengacara Saipul, Berthanatalia.
Rohadi didakwa menerima suap sebesar Rp 50 juta.
"Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya," ujar Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (5/9/2016).
Menurut Kresno, pemberian uang sebesar Rp 50 juta tersebut patut diduga untuk pengurusan penunjukkan susunan Majelis Hakim yang akan memimpin persidangan dalam perkara percabulan Saipul Jamil.
(Baca: Selain Suap dan Gratifikasi, Panitera PN Jakut Jadi Tersangka Pencucian Uang)
Pada sekitar April 2016, Bertha bertemu dengan Rohadi di PN Jakarta Utara.
Dalam pertemuan itu, Rohadi menyampaikan bahwa ia bersedia menjadi penghubung guna pengurusan penunjukkan majelis hakim yang dapat membantu perkara Saipul.
Untuk hal tersebut, Rohadi meminta kepada Bertha untuk menyediakan dana operasional sebesar Rp 50 juta.
Bertha menyanggupinya dan melaporkan permintaan tersebut kepada Samsul dan pengacara lainnya, Kasman Sangaji.
"Nanti dibantu untuk penetapannya hakimnya, diminta sama Kang Mas Rp 50 juta Bu," ujar Rohadi kepada Bertha, seperti yang dibacakan Jaksa KPK.
Selanjutnya, dalam pertemuan di kediaman Saipul Jamil, di Kelapa Gading, Jakarta Utara, antara Bertha, Samsul dan pengacara Saipul lainnya, Kasman Sangaji, disepakati pemberian kepada Rohadi sebesar Rp 50 juta.
Selanjutnya, pada bulan yang sama, bertempat di area parkir PN Jakarta Utara, Bertha menyerahkan uang sebesar Rp 50 juta kepada Rohadi.
(Baca: Disebut Depresi, Panitera PN Jakut Sempat Ancam Lompat dari Jendela Ruang Tahanan KPK)
Ada pun, Majelis Hakim yang menangani kasus Saipul, yakni Ifa Sudewi selaku Ketua Majelis Hakim, dan Hasoloan Sianturi, Dahlan, Sahlan Efendy, serta Jootje Sampaleng sebagai hakim anggota.
Atas perbuatan tersebut, Rohadi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.