JAKARTA, KOMPAS.com - September tak berarti menghadirkan keceriaan seperti lagu "September Ceria" yang dilantunkan Vina Panduwinata. Bagi Legimin dan Wanmayetti, September justru menjadi bulan yang kelam.
Keduanya hadir dalam jumpa pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang digelar Gema Demokrasi, jaringan lembaga swadaya masyarakat (LSM), dalam rangka memperingati serangkaian kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi di bulan September.
Sejarah mencatat berbagai kasus pelanggaran HAM terjadi di bulan kesembilan dalam kalender masehi itu.
Legimin misalnya. September 1965 mengubah perjalanan hidupnya memasuki dunia yang tak pernah ia bayangkan. Kedekatannya dengan beberapa personel loyalis Presiden Soekarno di militer membuat ia diciduk oleh tentara.
Legimin dituduh terlibat dalam seluruh aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu disebut sebagai dalang pembunuhan para jenderal.
Awal September, Legimin dibawa ke salah satu markas institusi keamanan di Jakarta Timur. Beragam interogasi pun dijalani. Bahkan, Legimin mengaku mengalami penyiksaan, dan biasa melihat penyiksaan.
"Selepas interogasi, melihat orang digotong dengan darah di sekujur tubuh itu sudah pemandangan biasa," tutur Legimin saat ditemui di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu (4/9/2016).
Dari Jakarta Timur, perjalanan Legimin yang saat itu bekerja di bank berlanjut ke Penjara Nusakambangan. Namun, penderitaan terakhir Legimin tak berhenti di situ, dan berlanjut ke Pulau Buru.
Meski berat, Legimin tak meratapi nasib. Dia mencoba bertahan di tengah derita fisik dan jiwa yang dialami. Ia menghabiskan waktunya dengan bercocok tanam selama mendekam di tahanan.
Suatu ketika Legimin dipukuli oleh oknum tentara yang menjaganya karena dinilai cara bercocok tanamnya keliru. Padahal, cara itu biasa ia lakukan di Jawa Tengah, semasa dirinya membantu orangtua di sawah, berbeda dengan cara yang dikenal tentara asal Maluku itu.
"Mereka tak mengenal cara bertani yang lebih modern lantas malah memukuli saya karena menganggap saya salah. Dalam hati waktu dipukuli saya tertawa, ini yang bodoh siapa," ujarnya, lantas tersenyum.
Legimin menuturkan, kekonyolan itu justru membuatnya terhibur. Ironis memang. Namun bagi Legimin, kekonyolan di tengah siksaan justru membuatnya mampu bertahan.
Lain halnya dengan Wanmayetti. September merupakan bulan terakhir dirinya bertemu sang ayah. Bachtiar, ayah dari Wanmayetti, turut diberondong timah panas oleh tentara pada peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984 silam.
Yetti mengaku sempat melihat tank dan alutsista lain bersiaga di dekat rumahnya di Tanjung Priok.
"Waktu itu saya mengira akan ada perang karena setahu saya alutsista itu hanya boleh digunakan untuk perang," kata Yetti di Kantor LBH Jakarta.
Yetti yang kala itu masih berseragam putih abu-abu mengaku tak terlalu memerhatikan situasi politik yang tengah berkembang.
Ia pun menuturkan tak tahu-menahu ihwal cekcok tentara dengan jemaah mushola As Sa'adah. Saat itu aparat keamanan menilai pengajian di mushala As Sa'adah sebagai aktivitas subversif.
Para aparat itu pun mencabut pamflet pengajian yang mengkritik asas tunggal Pancasila. Kejadian itu sontak membuat jemaah naik pitam. Sebagian yang dituduh bertindak anarkis akhirnya ditahan.
Bachtiar, ayahanda Yetty, dikenal dekat dengan Amir Biki, tokoh masyarakat setempat. Ketika Amir Biki hendak melakukan protes terkait penahanan empat jemaah mushola As Sa'adah, Bachtiar turut mendampingi.
"Sebelum pergi bersama Amir Biki, ayah pesan ke saya kalau nanti tidak kembali ke rumah, saya disuruh cari ayah," tutur Yetti sembari menahan tangis.
Ternyata hari itu menjadi pertemuan terakhir Yetti dengan ayahnya. Bagi Yetti, pesan mencari sang ayah tak lagi bermakna, sebab dia mencari jasad yang tak tahu di mana rimbanya.
Ratusan orang yang pergi memprotes penahanan jemaah mushola As Sa'adah hingga kini memang tak pernah kembali.
Yetty kini hanya bisa meratapi kerinduan akan ayahanda di Kompleks Pemakaman Budidarma, Cilincing, Jakarta Utara, walau tak tahu di mana jenazahnya.
Meski demikian, perjuangan Yetti mencari keadilan tak mengendur. Hingga detik ini ia terus menyuarakan keadilan. Ia berkeinginan peristiwa Tanjung Priok tetap diusut hingga ditetapkan dalang di balik pembunuhan massal itu sebagai tersangka.
Namun, Yetti mengaku pesimis melihat langkah politik Presiden Joko Widodo. Sebab, hingga kini belum sekali pun Yetti selaku keluarga korban berdialog dengan Presiden ihwal penyelesaian kasus Tanjung Priok.
Hal itu, menurut dia, diperparah dengan penunjukan Wiranto sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam).
(Baca: Pengangkatan Wiranto dan Kenaikan Pangkat Anggota Tim Mawar Dipertanyakan)
Yetti menilai hal itu semakin menunjukkan langkah mundur dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang sejatinya menjadi janji politik Jokowi.
Sebuah janji yang dulu pernah diucapkan Presiden Jokowi dalam hari HAM internasional. Sebuah janji yang bahkan termaktub dalam Nawacita sang Presiden.
(Baca juga: Jokowi Didesak Berhentikan Wiranto )