Pintu kehendak baik
Menjalankan proses interaksi sosial secara virtual di media sosial ibarat menelanjangi diri sendiri. Seperti inilah tubuhku. Seperti inilah wajahku. Seperti inilah kepribadianku. Seperti inilah pemikiranku. Silakan lihat diriku. Atas diriku, semuanya terbuka selebarnya. Lewat pergaulan di media sosial, para netizen menyatakan dirinya bukan lagi menjadi milik privat atas dirinya. Dengan demikian, suka tidak suka, para netizen senantiasa membuka dirinya untuk bersedia dikomentari. Rela untuk dilihat dan dipelototi orang lain.
Lalu bagaimana mengontrol muncul tebaran ujaran kebencian yang seolah benar adanya? Bagaimana mengatasi terjadi perang komentar antara komentator yang satu dan komentator lainnya? Bagaimana pula upaya mengendalikan nyinyirisme yang keberadaannya mengiris perasaan netizen lainnya?
Semuanya bergantung pada pintu kehendak baik para netizen. Semuanya berpulang pada niatan pemilik akun media sosial tersebut. Apakah semua yang ada pada dirinya akan dibagikan seluruhnya. Apakah semua yang dimiliki, dirasakan, dibayangkan, direncanakan, dan dicita-citakan akan diunggah di media sosial. Ataukah warta dan informasi tertentu saja yang layak dikonsumsi untuk publik?
Kata kuncinya agar tidak menyesal di kemudian hari, bijaklah membuka pintu kehendak baik saat berkomunikasi di media sosial.
Versi cetak artikel ini terbit di harian "Kompas" edisi 31 Agustus 2016, di halaman 7 dengan judul "Kekerasan Visual di Media Sosial"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.