Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jajak Pendapat "Kompas": Citra DPR Mulai Membaik

Kompas.com - 30/08/2016, 18:01 WIB

Wajah Dewan Perwakilan Rakyat pada usia ke-71 masih diselimuti beragam problematika, baik secara kelembagaan maupun personal para anggotanya.

Problematika tersebut selalu menyangkut citra dan kinerja yang terefleksi melalui performa lembaga dan perilaku para anggota Dewan.

Senin (29/8), DPR genap berusia 71 tahun terhitung sejak pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai cikal bakal badan legislatif di Indonesia.

Komite yang dibentuk 12 hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu beranggotakan 137 orang.

Setelah kemerdekaan, wajah dan postur KNIP terus beradaptasi dengan dinamika politik yang berkembang. Nama dan jumlah anggotanya terus berubah mengikuti situasi dan tuntutan sistem politik yang berlaku.

Wajah DPR hari ini merupakan hasil adaptasi yang lahir dari sejarah perjuangan politik untuk meruntuhkan sistem parlemen lama yang dinilai terlalu lemah terhadap penguasa.

Selama 32 tahun, terhitung sejak pemilu 1971, parlemen Indonesia berada di bawah hegemoni penguasa sehingga peran DPR tidak lebih dari tukang stempel bagi pemerintah.

Sejak pemilu 1999, sistem politik Indonesia mulai didesain untuk membentuk DPR sebagai lembaga legislatif yang otonom dan kuat.

Hasilnya, selama empat kali pemilu, sistem pemilihan anggota legislatif terus mengalami perubahan sebagai upaya menegakkan sistem demokrasi dan prinsip keterwakilan dalam pemilu.

Dengan kata lain, DPR yang terbentuk pada pemilu 1999-2014 merupakan hasil adaptasi sistem pemilihan yang demokratis dengan harapan bisa menghasilkan wakil-wakil rakyat yang kompeten, berkualitas, dan merakyat.

Citra korupsi

Meski sudah empat kali menerapkan sistem pemilihan yang demokratis, kenyataannya para anggota DPR belum bisa memenuhi ekspektasi konstituen mereka.

Alih-alih membawa aspirasi pemilih, anggota Dewan justru kerap bersekutu dengan penguasa agar kepentingan pribadi dan partai mereka tetap langgeng.

Kondisi ini menciptakan ambiguitas sikap DPR terhadap isu-isu publik yang strategis. Di sisi lain, publik melihat ambiguitas tersebut sebagai permainan politik yang justru meruntuhkan citra DPR.

Hasil survei tatap muka secara nasional Kompas pada akhir Juli hingga awal Agustus mengungkapkan, 44,1 persen responden menyatakan citra DPR baik.

Jika dibandingkan dengan hasil survei enam bulan sebelumnya, citra DPR sekarang merupakan yang terbaik.

Pada Januari 2016, persentase responden yang menilai baik DPR hanya 35,9 persen, terburuk sejak survei ini pertama kali dilakukan pada Januari 2015.

Artinya, hasil survei terakhir menunjukkan, menjelang HUT ke-71, citra DPR mulai membaik meskipun belum memuaskan.

Anjloknya citra lembaga penyalur aspirasi rakyat di bulan pertama tahun ini tak lepas dari riuhnya pemberitaan mengenai kasus yang melibatkan pimpinan Dewan.

Beredarnya rekaman pembicaraan pertemuan mantan Ketua DPR Setya Novanto bersama pengusaha Riza Chalid dan mantan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin menjadi alat bukti publik untuk melegitimasi DPR sebagai lembaga yang paling buruk citranya.

Setelah itu, tertangkapnya mantan anggota Komisi VII, Dewie Yasin Limpo, dan mantan anggota Komisi V, Damayanti Wisnu Putranti, dalam kasus suap proyek pemerintah semakin menguak perilaku korup anggota dewan.

Demikian pula upaya DPR memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai satu dari 40 rancangan UU prioritas dalam program legislasi nasional 2016 dipandang kurang elok oleh publik.

Hal ini dinilai sebagai upaya menghambat kewenangan lembaga anti rasuah dalam mengungkap kasus korupsi.

Seiring pergeseran konstelasi dukungan politik parlemen kepada pemerintah dan Ketua DPR dijabat Ade Komarudin, citra buruk lembaga perwakilan ini sedikit demi sedikit berkurang.

Setidaknya, dari periode survei April 2016 dan Juli 2016 yang bertepatan dengan masa kepemimpinan Ade, penilaian tentang citra DPR berangsur membaik.

Paling tidak, upaya DPR pasca Setya Novanto, seperti memoderasi pro kontra atas hukuman mati melalui revisi KUHP dan menghentikan rencana pemerintah menaikkan iuran BPJS bagi peserta mandiri kelas tiga, tampak mulai ”menetralkan” atmosfer antipati publik terhadap DPR.

Survei kali ini juga mengungkapkan persepsi responden terhadap sejumlah perilaku anggota Dewan yang kerap muncul di hadapan publik.

Enam dari 10 responden setuju bahwa anggota DPR sekarang masih mengutamakan kepentingan partai ketimbang kepentingan bangsa atau rakyat.

Semangat kerja para legislator masih diselimuti keberpihakan pada kepentingan partai.

Hambat perseorangan

Sebagai contoh, saat sebagian kalangan bersemangat dengan kemunculan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah, Komisi II DPR justru memperberat syarat pencalonan melalui UU Pilkada.

Verifikasi faktual merupakan senjata yang digunakan para anggota DPR untuk menghambat langkah tokoh potensial di daerah menjadi kepala daerah lewat jalur perseorangan.

Selain keberpihakan, responden juga mengamati kedisiplinan anggota DPR dalam mengikuti sidang.

Sebagian besar responden setuju bahwa anggota Dewan masih banyak yang pasif atau tidak mau memberikan pendapat saat bersidang.

Beberapa wakil rakyat justru terlihat tidur, memainkan gawai, atau mengobrol saat sidang berlangsung.

Tidak sedikit anggota Dewan membolos sidang, termasuk saat Sidang Paripurna pengambilan keputusan atas suatu UU.

Dalam menyerap aspirasi masyarakat pun para anggota Dewan dinilai malas turun ke lapangan.

Sebanyak 60,6 persen responden setuju dengan pernyataan tersebut. Padahal, setiap tahun para anggota Dewan diberikan masa reses yang harus digunakan untuk mendatangi para konstituen di daerah pemilihannya untuk mendengarkan secara langsung aspirasi mereka.

Sesungguhnya tugas utama DPR sebagai lembaga legislatif adalah mengusulkan pembuatan UU dan mengesahkannya. Inilah salah satu pekerjaan rumah yang harus dituntaskan terkait produktivitas DPR.

Faktanya, dalam menunaikan tugas legislasi ini DPR belum bisa memenuhi target yang sudah dibuat.

Dari catatan Kompas, rancangan undang-undang yang berhasil diselesaikan dari tahun 2010 hingga 2015 tidak sampai 20 persen dari RUU prioritas yang ditargetkan.

Sampai Agustus 2016, DPR baru menyelesaikan tujuh UU dari 50 UU yang ditargetkan diselesaikan.

Untunglah pola kerja ini terselamatkan masukan Presiden Joko Widodo yang ingin DPR lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas UU yang dihasilkan.

(Sugihandari/Sultani/Litbang Kompas)

 

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Agustus 2016, di halaman 5 dengan judul "Citra DPR Mulai Membaik".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Soal Duet Budi Djiwandono-Kaesang, Gerindra Tunggu Keputusan Prabowo

Soal Duet Budi Djiwandono-Kaesang, Gerindra Tunggu Keputusan Prabowo

Nasional
Pemerintah Diingatkan, Jangan Sampai Tapera Dikorupsi seperti Asabri dan Jiwasraya

Pemerintah Diingatkan, Jangan Sampai Tapera Dikorupsi seperti Asabri dan Jiwasraya

Nasional
Komposisi Pansel Capim KPK dari Masa ke Masa

Komposisi Pansel Capim KPK dari Masa ke Masa

Nasional
Kemenlu: Tidak Perlu Spekulasi Keanggotaan OECD Indonesia Akan Diveto Israel

Kemenlu: Tidak Perlu Spekulasi Keanggotaan OECD Indonesia Akan Diveto Israel

Nasional
Jadi Ketua Pansel Capim KPK, Muhammad Yusuf Ateh Miliki Harta Kekayaan Rp 24 Miliar

Jadi Ketua Pansel Capim KPK, Muhammad Yusuf Ateh Miliki Harta Kekayaan Rp 24 Miliar

Nasional
MA Ubah Aturan Batas Usia Calon Kepala Daerah, Golkar: Tak Ada Kaitan dengan Mas Kaesang

MA Ubah Aturan Batas Usia Calon Kepala Daerah, Golkar: Tak Ada Kaitan dengan Mas Kaesang

Nasional
Putusan Kilat MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Tak Transparan

Putusan Kilat MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Tak Transparan

Nasional
Pemerintah Disarankan Buat Iuran Tapera Opsional, Bukan Kewajiban

Pemerintah Disarankan Buat Iuran Tapera Opsional, Bukan Kewajiban

Nasional
MA Ubah Aturan Batas Usia Calon Gubernur, PDI-P: Demi Loloskan Putra Penguasa Maju, Pengkhianatan Tertinggi

MA Ubah Aturan Batas Usia Calon Gubernur, PDI-P: Demi Loloskan Putra Penguasa Maju, Pengkhianatan Tertinggi

Nasional
Kemenaker Tekankan Pentingnya Implementasi K3 di Tempat Kerja

Kemenaker Tekankan Pentingnya Implementasi K3 di Tempat Kerja

Nasional
Istana Enggan Ungkap Alasan Pilih 9 Anggota Pansel Capim KPK

Istana Enggan Ungkap Alasan Pilih 9 Anggota Pansel Capim KPK

Nasional
Menko Polhukam Perintahkan TNI-Polri Siapkan Alutsista Bantu Distribusi Logistik Pilkada di Papua

Menko Polhukam Perintahkan TNI-Polri Siapkan Alutsista Bantu Distribusi Logistik Pilkada di Papua

Nasional
Belajar dari Kasus Firli, Pansel Diminta Berani Coret Capim KPK Problematik

Belajar dari Kasus Firli, Pansel Diminta Berani Coret Capim KPK Problematik

Nasional
Brimob Konvoi di Kejagung, Polri Sebut Itu Patroli Rutin

Brimob Konvoi di Kejagung, Polri Sebut Itu Patroli Rutin

Nasional
Pakar: Tahapan Pilkada Sudah Dimulai, Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Tak Berlaku 2024

Pakar: Tahapan Pilkada Sudah Dimulai, Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Tak Berlaku 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com