JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ade Komarudin mencetuskan gagasan sekolah parlemen yang diperuntukkan bagi para legislator, baik pusat maupun tingkat daerah.
Ade menuturkan, perlu ada upaya peningkatan kualitas anggota dewan. Selain itu, sekolah parlemen diharapkan juga bisa membuat standar kualitas legislator.
"Tujuan kami peningkatan kualitas para legislator, anggota dewan yang selama ini diharapkan masyarakat berkualitas. Baik fungsinya sebagai pembuat undang-undang, penyusun APBN dan fungsi pengawasannya," ujar Ade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/8/2016).
Adapun saat disinggung mengenai anggaran, Ade mengatakan, dananya minim. Ia menyebut anggaran yang dipergunakan juga bisa dari pengalihan biaya bimbingan teknis (bimtek) anggota dewan.
"Sekarang ini, bimtek sering dijadikan lahan korupsi. Banyak bimtek bodong. Daripada dikorupsi ya sekalian dibikin sekolah saja. Kurikulumnya juga harus terstandar," ujar Ade.
Perincian teknis lainnya, Ade mengatakan, sekolah parlemen barulah berupa gagasan dan masih dalam tahap penyusunan proposal.
"Output" dipertanyakan
Terkait gagasan tersebut, Sekretaris Fraksi Hanura di DPR sekaligus Anggota Komisi X, Dadang Rusdiana, berpendapat perlu kajian mendalam. Salah satunya berkaitan dengan output atau hasil akhir dari sekolah tersebut.
"Apakah untuk menguatkan kapasitas legislator kita butuhkan sekolah parlemen, ataukah memperjelas sistem pendidikan kader di tingkat partai? Ini tentunya yang harus didalami dulu," kata Dadang.
Untuk memperkuat wawasan ketahanan nasional, lanjut Dadang, negara memiliki Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Sedangkan pada tingkat perguruan tinggi pun terdapat sejumlah program studi penunjang, salah satunya adalah prodi kebijakan publik.
"Maka tentunya output sekolah parlemen itu arahnya ke mana? Perlu kita pelajari dulu," ucap anggota Komisi X DPR itu.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga Anggota Komisi IX, Saleh Partaonan Daulay, berpendapat, gagasan tersebut dikhawatirkan justru akan mengganggu tugas-tugas para anggota dewan. Saleh menilai, kegiatan anggota dewan saat ini sudah sangat padat.
"Pasalnya, tugas sebagai anggota DPR sekaligus anggota MPR juga menyita waktu yang tidak sedikit. Ditambah lagi dengan tuntutan masyarakat agar kinerja DPR semakin ditingkatkan, terutama dalam bidang legislasi," kata Saleh.
Ia khawatir jika dipaksakan, gagasan tersebut justru akan tumpang tindih dengan pelatihan kader yang dilakukan masing-masing internal partai.
"Kalau ada yang tidak setuju, takutnya gagasan ini berhenti pada sekadar wacana," ujarnya.
Adapun Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sekaligus Anggota Komisi III, Arsul Sani, menilai pembangunan kapasitas anggota dewan memang diperlukan. Namun, nama dan formatnya perlu dikaji kembali apakah memang berbentuk Sekolah Parlemen atau bukan.
Mengenai anggaran, Arsul menaksir tak akan begitu besar. Meski turut melibatkan DPRD se-Indonesia, tetapi yang dibutuhkan hanyalah biaya penyelenggaraan di pusat.
"Di DPRD ada biaya perjalanan dinas. Yang dibutuhkan biaya penyelenggaraan yang di sini saja. Enggak terlalu besar," tutur Arsul.
Respons kritik publik
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, gagasan tersebut dilontarkan Ade Komarudin sebagai bentuk respons dari kritikan publik terhadap kinerja dewan yang sering dianggap tak memuaskan. Urgensi sekolah parlemen pun dipertanyakan. Apalagi Ade menargetkan agar program tersebut bisa berjalan mulai tahun ini.
Menurut Lucius, sekolah parlemen adalah sebuah gagasan positif. Hanya saja, tak bisa dilakukan tergesa-gesa karena dikhawatirkan malah akan mendapatkan hasil yang minimal.
Jika terburu-buru, justru berpotensi menimbulkan persepsi di publik bahwa program ini merupakan proyek-proyekan DPR. Ia mengakui kualitas anggota dewan, terlebih DPR, tak merata bahkan nyaris tanpa kualifikasi tertentu. Terkadang, hanya karena memiliki uang atau popularitas, banyak orang yang bisa menjadi calon legislatif.
"Ini masalah laten parpol dan tak bisa DPR saat ini ingin menebus kesalahan parpol itu dengan membuat sekolah parlemen," ujar Lucius.
Jika mau tetap dilaksanakan, Lucius mengusulkan agar gagasan sekolah parlemen dilemparkan sebagai wacana terbuka untuk mendiskusikan tata kelola parlemen yang efektif dan efisien demi meningkatkan kinerja anggota dewan.
Ia pun berpendapat, sekolah parlemen semestinya ditujukan bagi mereka yang belum menjadi anggota parlemen, tetapi punya minat atau cita-cita menjadi anggota DPR. Oleh karena itu, lebih tepat sekolah ini diinisiasi oleh pantai politik dalam rangka kaderisasi dan pendidikan politik kader masing-masing.
"Sudah terpilih menjadi anggota DPR maka waktunya untuk bekerja bukan malah sibuk sekolah lagi. Karena kalau masih sibuk sekolah, terus kapan mau kerja?" kata Lucius.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.