JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan bahwa tekad pemerintah untuk menekan kebakaran hutan dan lahan pada 2016 cukup berhasil.
Indikator ini terukur dari jumlah titik panas (hotspot), indeks standar pencemaran udara (ISPU), jarak pandang, kesiapan aparat dalam mencegah karhutla, dan aktivitas masyarakat.
"Sejak 1 Januari 2016 hingga 11 Agustus 2016, satelit Modis mendeteksi jumlah hotspot 10.174 di Indonesia," kata Sutopo melalui keterangan tertulisnya, Jumat (8/12/2016).
Sementara pada 2015, kata dia, Karhutla yang terjadi sangat luar biasa. Data satelit Modis mendeteksi 129.813 hotspot.
"Jarak pandang saat itu hanya 100 meter. Indeks standar pencemaran udara (ISPU) mencapai lebih dari 2.000 psi atau sudah sangat berbahaya," kata dia.
Selain itu, hutan dan lahan yang terbakar seluas 2,61 hektar menyebabkan kerugian ekonomi mencapai Rp 221 trilyun. Aktivitas pendidikan dan penerbangan juga ikut lumpuh selama 2-3 bulan.
Sutopo mengatakan, memang merupakan hal yang tidak mungkin menihilkan hotspot dalam setahun di Indonesia.
Pasalnya, pembakaran seringkali dilakukan juga terkait dengan mata pencaharian.
Meskipun demikian, kata dia, yang penting diperhatikan mengenai penanganan karhutla oleh pemerintah adalah bagaimana agar pembakaran tersebut dapat terkendali dan tidak meluas.
"Hingga saat ini semua ISPU di Sumatera dan Kalimantan menunjukkan sedang hingga baik. Begitu pula jarak pandang semuanya normal sehingga tidak ada aktivitas sekolah dan penerbangan yang ditutup akibat gangguan asap," kata dia.
Sutopo mengatakan, keberhasilan penanganan karhutla hingga saat ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, kata dia, upaya pencegahan dan pemadaman yang dilakukan semua pihak lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Presiden, menurut Sutopo, secara terus menerus mengontrol upaya penanganan karhutla yang dilakukan pemerintah pusat dan pemda.
"Ribuan personil TNI, Polri, BNPB, KLHK, BPBD, Manggala Agni, Damkar, relawan, dunia usaha dan lainnya dikerahkan melakukan upaya pencegahan dan pemadaman di lapangan," ucapnya.
Kedua, lanjut dia, anomali cuaca dan indikasi menguatnya La Nina menyebabkan curah hujan turun di banyak wilayah. Kemarau basah menyebabkan hutan dan lahan sulit terbakar.
Sehingga, pemadaman karhutla menjadi lebih mudah karena peningkatan hujan ini mendukung upaya pencegahan.
BNPB, kata Sutopo, memperkirakan puncak potensi karhutla masih berlangsung pada September hingga Oktober 2016.
Maka dari itu, BNPB bersama pihak-pihak terkait akan meningkatkan upaya pencegahan dan pemadaman karhutla seperti patroli, sosialisasi dan penegakan hukum terus diintensifkan.
Selain itu, BNPB juga mengerahkan 7 helikopter water bombing, 2 pesawat water bombing, dan 2 pesawat hujan buatan untuk mendukung satgas udara dalam pengendalian kebakaran hutan.
Sutopo menambahkan, pemantauan satelit Lapan pada 11/8/2016 sore terdeteksi ada 242 hotspot.
Untuk tingkat kepercayaan "Sedang" (30 - 79%), sebanyak 163 hotspot, sedangkan untuk tingkat kepercayaan "Tinggi" (80 - 100 %) sebanyak 79 hotspot.
Sebaran hotspot dengan tingkat kepercayaan "Sedang" ada di 4 titik di Jawa Tengah, 4 titik di Jawa Timur, 71 titik di Kalimantan Barat, 7 titik di Kalimantan Selatan, 23 titik di Kalimantan Tengah, dan 15 titik di Kalimantan Timur.
Sedangkan titik panas di Kepulauan Bangka Belitung terdapat di 3 titik, Nusa Tenggara Barat ada 4 titik, Nusa Tenggara Timur ada 21 titik, Papua ada 5 titik, Sulawesi Barat ada 2 titik, Sulawesi Selatan di 3 titik, dan Sulawesi Tenggara ada 1 titik.
Mengenai sebaran hotspot dengan tingkat kepercayaan "Tinggi" ada 1 di Jawa Tengah, di Kalimantan Barat ada 55, di Kalimantan Tengah ada 5, di Kalimantan Timur ada 9, di Lampung ada 2, di Maluku ada 1, di Nusa Tenggara Timur ada 5, dan Sulawesi Selatan ada 1.