JAKARTA, KOMPAS.com - "Banyak jalan menuju Roma..." Pepatah lama itu rasanya tepat menggambarkan kisah hidup Shamsi Ali.
Shamsi adalah putra Indonesia yang sempat didapuk menjadi Imam di Islamic Cultural Center (Masjid Raya) New York, Amerika Serikat (AS) pada 2001 hingga 2011.
Dia justru menemukan jalan sebagai pemimpin umat yang mengajarkan nilai toleransi serta kedamaian di negeri yang dulu dibencinya.
Sebuah negeri yang merepresentasikan Barat seutuhnya, yang seluruh kebijakannya dia pandang mengerdilkan Islam, yakni Amerika Serikat.
Pemilik nama asli Muhammad Uteng Ali yang lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 48 tahun silam ini menyelesaikan pendidikan menengah di Pondok Pesantren Darul Arqam, Makassar.
Pada 1988 Shamsi pergi melanjutkan kuliah ke International Islamic University di Islamabad, Pakistan. Di Paksistan, Shamsi mengambil jurusan tafsir.
Setelah itu dia melanjutkan ke jenjang master mempelajari perbandingan agama. Kemudian Shamsi mendapat tawaran mengajar di salah satu yayasan pendidikan Islam di Jeddah, Arab Saudi, tak lama usai lulus di tahun 1995.
Dari lingkungan Islam yang membentuknya, Shamsi tak menafikan dirinya memiliki pandangan Islam yang cenderung ekstrem sebelum ke AS.
"Sebelum saya ke AS, saya melihat orang Barat itu selalu jahat kepada Islam, Barat tak ingin Islam maju, dan jika mendengar kata Barat asosiasinya selalu ke Yahudi," tutur Shamsi, saat diwawancarai di Masjid Al Azhar, Jakarta, Minggu (7/8/2016).
Dia menyatakan hal itu tak lepas dari kultur berislam yang cukup ekstrem menempa dirinya di Pakistan. Terlebih, saat itu Shamsi mengaku hanya mendengar informasi bahwa negara-negara Barat selalu membantu penyerangan Israel terhadap Palestina.
Di samping itu, medio-1988 merupakan kurun waktu yang penuh gejolak bagi negeri Islam, salah satunya Afghanistan.
Shamsi muda beranggapan perang yang melibatkan Uni Soviet dan Afghanistan merupakan desain negeri Barat yang memanfaatkan Islam untuk menghadang komunisme.
"Dari situ saya berpikir Barat memang tak ramah dengan Islam, bahkan pikiran itu terbawa hingga saya mengajar di Jeddah. Saya sama sekali tak paham bahwa ada upaya kebaikan yang sebenarnya juga dilakukan Barat terhadap Islam," ujar Shamsi.
Gayung pun bersambut, kereta waktu akhirnya membawa Shamsi ke negeri yang justru merepresentasikan Barat sesungguhnya, yakni AS.
Semua berawal saat dia mengisi materi manasik haji di Jeddah pada akhir 1995. Tak dinyana, salah satu jemaah haji yang mengikuti kelas Shamsi ternyata Duta Besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Nugroho Wisnumurti.
Seusai memberi materi, Sang Duta Besar meminta Shamsi ikut dengan dia ke New York, AS untuk menjadi imam di Islamic Indonesia Cultural Center (IICC), sebuah masjid milik jemaah muslim Indonesia.
"Kebetulan waktu itu jemaah muslim di New York baru saja membeli sebuah gedung untuk dijadikan masjid dan mereka membutuhkan seorang imam untuk mengelola masjid tersebut. Saya pun menerima tawaran itu," ujar Shamsi.
Berubah karena tetangga
Berubahnya pandangan Shamsi terhadap Barat dan pemeluk agama lain berawal dari kisahnya dengan Sang Tetangga. Di New York, Shamsi bertetangga dengan seorang Katolik keturunan Irlandia.
Shamsi menceritakan, tetangganya itu kerap menyapu halaman depan rumah saban pagi. Ternyata, Sang Tetangga juga menyapu bagian depan rumah Shamsi hingga bersih dan rapi.
Dengan pandangan kultur berislamnya yang lama, Shamsi justru mencurigai tindak-tanduk tetangganya yang ternyata tak hanya sekali itu menyapu halaman depan rumah Shamsi, tetapi justru setiap pagi.
"Awalnya yang ada di benak saya Si Tetangga hendak mengajak saya masuk Katolik karena itulah dia berbuat baik kepada saya," tutur Shamsi.
Namun berbulan-bulan berikutnya, ternyata Sang Tetangga masih setia menyapu halaman depan rumah Shamsi. Obrolan di antara mereka berdua pun dimulai dan sejak awal mereka tak pernah berbicara tentang agama Katolik.
"Justru mereka yang bertanya kepada saya tentang apa itu Islam karena melihat istri saya menggunakan jilbab. Dari situ kemudian kami menjadi dekat dan bersahabat, bahkan anak saya memanggil mereka kakek dan nenek, itu terjadi di tahun 1998," kata Shamsi.
Shamsi pun belajar dan menemukan adanya kebaikan dari orang berbeda kepercayaan sekalipun yang harus dihargai.
"Entah pernyataan ini berlebihan atau tidak, yang jelas saya merasa merekalah yang mengajarkan saya menjadi muslim yang lebih baik. Meskipun mereka tak mengajarkan Islam kepada saya," ucap Shamsi.
Dari situlah akhirnya pemikiran Shamsi berubah 180 derajat terhadap Barat. Ditambah hadirnya peristiwa 11 September, saat umat Islam di AS kembali menjadi "pesakitan" dan "tertuduh" atas pengeboman gedung World Trade Center (WTC) oleh kelompok teror Al Qaeda.
Shamsi pun berpikir situasi yang semakin menyudutkan umat Islam di AS itu tak cukup diselesaikan melalui ceramah di podium masjid.
Menurut dia, sudah saatnya Islam menunjukan jati diri yang sesungguhnya, yakni sebuah entitas sosial yang membawa rahmat bagi semesta, bagi lingkungan sekitar.
Dialog
Akhirnya Shamsi memulai cara baru dalam memperkenalkan Islam di AS. Menurut dia, Islam di AS harus mengambil peran aktif melakukan aksi damai sekaligus memperkenalkan eksistensi diri kepada publik.
"Peristiwa 11 September benar-benar mengubah cara pandang saya terhadap Islam dan Barat. Islam tak lagi cukup diperkenalkan dari mimbar ke mimbar, saya pun saat itu mulai mengetuk pintu rumah ibadah agama lain untuk memperkenalkan Islam ke mereka," ujar Shamsi.
Dia mengatakan, mulai saat itu muncul keingintahuan dari publik AS terhadap Islam.
Di saat Islam di AS dikenal dengan ajaran yang antidemokrasi dan intoleran, di satu sisi muncul wajah Islam lain yang diperkenalkan Shamsi, yakni Islam yang pro demokrasi dan toleran.
Menurut Shamsi, dua wajah Islam itu yang membuat publik AS penasaran dengan Islam. Dari peristiwa 11 September itu Shamsi mengatakan Islam di AS pun terus berkembang pesat. Jumlah masjid di AS pun mengalami peningkatan.
"Pada akhirnya hidup di New York mengajarkan saya untuk menghargai kebaikan dari umat beragama lain, yang semestinya juga harus dilakukan kepada umat Islam," kata Shamsi.
"Dan membuka ruang dialog secara aktif dengan mereka justru membuat Islam semakin mendapat tempat di hati publik AS," ucapnya.
Semenjak tak menjadi imam di ICC, New Yorm, Shamsi kini menjadi imam di Masjid Al Hikmah di Astoria dan Direktur Jamaica Muslim Center di Queens.
Kendati demikian semangatnya menebarkan Islam damai di Bumi Barat tak pudar sedikit pun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.