JAKARTA, KOMPAS.com - Hakim Agung Artidjo Alkostar dikenal sebagai hakim "galak" dalam menjatuhkan hukuman. Terutama bagi para koruptor.
Vonis berat menanti terpidana koruptor jika kasasinya ditangani Artidjo. Ketukan "palu" Artidjo begitu menakutkan.
Sejumlah kasus korupsi yang melibatkan pejabat dan politisi pernah ditangani Artidjo. Sebut saja Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, hingga Anas Urbaningrum.
Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, terjerat kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Luthi mendapatkan vonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar, subsider 1 tahun kurungan.
(Baca: Vonis Anas Dilipatgandakan, Pengacara Anggap Artidjo Arogan)
Pengadilan banding menjatuhi Luthfi hukuman penjara dan denda yang sama seperti pengadilan tingkat pertama.
Di tingkat kasasi, vonis untuk Luthfi naik menjadi 18 tahun penjara dan hak politiknya pun dicabut.
Politisi Partai Demokrat, Angelina Sondakh terjerat kasus korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang dan korupsi di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bekas Puteri Indonesia ini divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara. Vonis banding tak berubah dari pengadilan tingkat pertama. Pada tingkat kasasi, Angelina dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
(BAca: Artidjo: Korupsi, Kanker yang Gerogoti Negara)
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terjerat dalam kasus korupsi. Permohonan kasasi Akil Mochtar, yang dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Tinggi DKI, tidak dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Dengan demikian, Akil tetap menjalani hukuman penjara seumur hidup.
(Baca: Ditakuti Koruptor, Artidjo, Abraham, dan Bambang Dinilai Layak Jadi Jaksa Agung)
Hakim Agung Artidjo memperberat hukuman terhadap mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, setelah menolak kasasi yang diajukannya. Anas yang semula dihukum tujuh tahun penjara kini harus mendekam di rumah tahanan selama 14 tahun.
Suap demi hindari Artidjo
Para koruptor ternyata tak kehilangan akal untuk mencari celah agar mendapat keringanan. Upaya hukum yang ditempuh, disertai adanya suap bagi pejabat di internal MA.
Andri didakwa atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi. Andri diduga menjanjikan pihak yang berperkara di MA, agar tidak berurusan dengan Hakim Agung Artidjo Alkostar. Dalam melakukan aksinya, Andri dibantu staf panitera muda pidana khusus MA Kosidah.
"Benar yang mulia, Pak Andri minta berkas itu jangan ke Pak Artidjo, karena pada takut yang mulia," ujar Kosidah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (21/7/2016).
(Baca: Pejabat MA Minta Suap kepada Pengacara untuk Hindari Hakim Artidjo)
Salah seorang pengacara yang dimintai uang oleh Andri adalah Asep Ruhiat. Dia menangani banyak perkara di Mahkamah Agung. Asep mengaku bahwa ia pernah meminta tolong kepada Andri, agar memonitor perkara pidana di MA.
Perkara yang dimaksud yakni, peninjauan kembali perkara korupsi dengan terdakwa H Zakri. Dalam tingkat kasasi, terdakwa diputus oleh Hakim Artidjo Alkostar dengan pidana 8 tahun penjara.
Asep meminta agar yang memeriksa pengajuan PK tidak lagi Hakim Artidjo. Untuk hal tersebut, Andri meminta uang Rp75 juta. Menurut Andri, harga tersebut lebih murah, karena biasanya pengondisian Hakim Agung membutuhkan biaya sebesar Rp100 juta. Putusan konsisten.
(Baca: Pejabat MA Patok Tarif Rp 100 Juta untuk Atur Komposisi Hakim)
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting mengatakan, salah satu tujuan pembentukan sistem kamar di MA adalah konsistensi putusan.
Putusan hakim yang konsisten dinilai bisa mengurangi modus permainan perkara, karena putusan tersebut bisa diprediksi atau paling tidak perbedaanya tidak terlalu jauh.
Menurut Miko, meski secara substansi beberapa putusan Artidjo bisa diperdebatkan, terutama soal apakah pertimbangan dan putusan itu tepat pada forum kasasi, dan seterusnya, terdapat catatan yang tidak kalah penting.
(Baca: Suap Pengaturan Perkara di MA Diduga Libatkan Hakim Agung)
Hal itu menyangkut perannya sebagai ketua kamar pidana yang mengurus tidak hanya perkara yang masuk ke tangannya.
"Saya kira integritas dan kredibilitas Pak Artidjo tidak diragukan, belum pernah ada catatan soal itu," ujar Miko kepada Kompas.com, kemarin.