Lembaga peradilan, belakangan ini sering disebut dalam perbincangan atau pemberitaan terkait pemberantasan korupsi di negeri ini. Hal itu terjadi menyusul adanya sejumlah aparat lembaga itu yang diproses hukum Komisi Pemberantasan Korupsi karena kasus korupsi.
Berdasarkan catatan Kompas, dari 10 kali operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK pada Januari hingga Juni 2016, lima di antaranya melibatkan aparatur pengadilan, dari hakim, panitera, hingga pejabat MA.
Mereka ditangkap dengan penyebab yang hampir sama, yaitu diduga menerima suap terkait "pengurusan" perkara.
Aparat lembaga peradilan terakhir yang ditangkap KPK adalah Santoso. Panitera pengganti Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat ini ditangkap pada Kamis pekan lalu.
Santoso merupakan panitera ketiga yang ditangkap KPK di enam bulan pertama 2016. Sebelumnya, pada 20 April, KPK menangkap Edy Nasution, panitera PN Jakarta Pusat. Panitera lain yang ditangkap KPK adalah Rohadi, panitera PN Jakarta Utara pada 15 Juni lalu.
Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bengkulu, yaitu Janner Purba dan Toton, menjadi hakim yang ditangkap KPK pada semester pertama 2016. Mereka ditangkap Mei 2016.
Sementara Andri Tristianto Sutrisna harus nonaktif dari jabatannya sebagai Kepala Subdirektorat Kasasi Perdata Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Mahkamah Agung (MA), setelah ditangkap KPK pada Februari lalu.
Kebanggaan MA
Terkait persoalan itu, dalam acara menjelang buka puasa di Jakarta pada Jumat (1/7), Ketua MA Hatta Ali menuturkan, proses hukum yang harus dijalani hakim, panitera, dan staf MA di atas merupakan akibat dari apa yang mereka perbuat.
Sejumlah langkah, lanjut Hatta Ali, telah diambil lembaganya terkait kasus tersebut. Langkah itu seperti memecat dua orang di PN Jakpus karena diduga tersangkut kasus Edy Nasution.
Sejumlah hakim di daerah, yang membuat kesalahan, juga telah mendapat sanksi berupa mutasi atau dicabut kewenangannya dalam memutus perkara.
Langkah ini diambil karena sejumlah kasus itu telah mencoreng kebanggaan MA yang selama empat kali berturut-turut memperoleh catatan wajar tanpa pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan.
"Itulah kerja dalam diam MA," kata Hatta Ali.
Pernyataan Hatta Ali itu mengingatkan dengan yang disampaikan Rimawan Pradiptyo. Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada ini mengingatkan, negara dengan tingkat korupsi yang tinggi cenderung akan mendorong keluar investor yang mengandalkan kompetisi kualitas dan inovasi teknologi.
Pada saat bersamaan, akan masuk investor yang mengandalkan penyogokan sebagai salah satu praktik usaha.
"Korupsi juga punya korelasi negatif dengan kemampuan administrasi pemerintah serta fungsi, kualitas, dan efektivitas pemerintah," tambah Rimawan.
Terkait hal ini, lembaga peradilan jadi salah satu kunci sukses dari pemberantasan korupsi. Lembaga peradilan yang bersih, berwibawa, dan dipercaya jadi kunci keberhasilan pemberantasan korupsi.
Cukup sulit membayangkan, korupsi dapat diberantas, sementara lembaga peradilan sebagai bagian dari "alat pembersihnya" belum bebas dari korupsi.
Selain sejumlah upaya yang telah dituturkan Hatta Ali, langkah lain agaknya juga perlu dilakukan MA untuk membuat lembaga itu makin bersih, dipercaya, dan berwibawa.
Cara itu, misalnya, memperkuat kewenangan Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal kekuasaan kehakiman seperti yang diusulkan melalui Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim yang kini sedang disusun DPR. Sayangnya, untuk hal ini sepertinya MA masih keberatan. (Stefanus Osa)