Ibu saya sudah sedikit kesulitan dalam kemampuan matanya untuk melihat lubang jarum yang sangat kecil itu. Anak-anak diajarkan, agar mudah memasukkan benang ke lubang jarum, benang dipotong di ujungnya dengan arah yang sedikit miring, kemudian dibasahi sedikit agar mudah untuk diarahkan masuk ke dalam lubang jarum yang kecil.
Ibu menjahit dengan mesin jahit “singer” yang digerakkan dengan kedua kakinya di bawah mesin jahit.
Setiap mendengar suara mesin jahit berbunyi, saya dan kakak saya berlari-lari mendekat, sekedar mengecek saja baju siapa gerangan yang tengah dijahit.
Kemudian bertanya terus, "kapan kelarnya, Mak. Kapan kelarnya?"
Ibu saya selalu dengan tenang dan tersenyum biasa menjawab, "sabar ya, sabar ya, besok kelar."
Ibu saya menyelesaikan sebuah baju sampai berhari-hari, karena harus menyambi banyak pekerjaan rumah tangga lainnya.
Kue Lebaran
Selain membuat baju baru untuk anak-anaknya berlebaran, ibu saya juga membuat kue-kue lebaran sendiri.
Kue semacam lapis legit dan kebanyakan kue kering yang dipanggang di sebuah “oven” kuno yang di atasnya dipasang arang yang dibakar agar kue dapat matang merata bawah dan atasnya.
Karena saat itu belum ada “blender” maka tugas anak-anak mengocok adonan telur dan tepung dalam sebuah baskom dengan menggunakan pengocok adonan yang berbentuk seperti “per” atau “pegas” yang dibuat agar dapat lentur.
Yang menyenangkan adalah saat melihat ibu mencetak kue keringnya dengan cetakan kue. Sesekali anak-anak diberi kesempatan mencoba juga mencetak kue.
Ada pola-pola bintang, segi empat dan lingkaran seperti pada umumnya kue kering yang kita kenal sampai dengan saat ini.
Saat ibu kecewa melihat panggangan kuenya telanjur “gosong” atau agak coklat gelap warnanya karena terlambat diangkat, saya dan kakak saya justru gembira. Kue itu menjadi jatah anak anak untuk dimakan. Kue gosong disisihkan , tidak dimasukkan kedalam “stoples’ yang disiapkan untuk hari lebaran.
Opor ayam
Untuk persiapan Lebaran, selain membuat baju dan kue, ibu saya selalu menyiapkan sendiri ketupat, opor ayam, rendang dan juga membikin sendiri “kacang bawang”.
Ritual ini sudah menjadi kegiatan rutin dan anak-anak sudah memperoleh “porsi” sendiri untuk kegiatan masing-masing. Kegiatan yang dengan senang hati dilakukan, tentu saja karena merupakan kegiatan dalam mengisi liburan 40 hari.
Daun pembuat ketupat, ibu membeli sendiri kepasar Petojo. Sampai di rumah menjadi tugas anak-anak mengisi beras ke dalam daun pembuat ketupat setelah dibersihkan.
Saya masih ingat takarannya adalah sepertiga sampai mendekati setengah dari isi daun ketupat. Saya sudah lupa, apakah yang dibeli itu daun bahan pembuat ketupat atau sudah jadi atau dalam bentuk ketupat.
Yang masih jelas dalam ingatan saya adalah ibu saya pandai membuat kelongsong ketupat dari daun kelapa dengan merajutnya sendiri. Ibu saya pernah mengajarkan saya dan kakak saya tapi saya tidak pernah bisa melakukannya sampai selesai. Baru separuh jalan, ketupat biasanya rusak berantakan.
Malam lebaran ibu saya bisa dikatakan tidak tidur sama sekali karena harus memasak opor ayam, rendang dan ketupat. Ketupat biasanya baru masak di pagi hari menjelang subuh. Ketupat diangkat dari dandang setelah direbus atau dikukus dan kemudian diangkat untuk disusun rapih di sebuah “tampah”.
Ayah saya selalu menjadi “algojo” penyembelih ayam. Kami biasanya menyembelih 1 atau terkadang 2 ekor ayam yang sudah dibeli beberapa minggu sebelum lebaran.
Setiap upacara potong ayam, saya , kakak saya dan ibu saya selalu menyaksikan bersama-sama. Ayah saya menyembelih ayam dengan menggunakan “silet”, kakak saya memegang kaki ayam, saya memegang sayapnya.
Beberapa saat ayah mengucapkan “bismilah” dan doa-doanya sebelum menorehkan silet ke leher ayam. Tidak jarang, ayam yang sudah disembelih itu ada yang masih juga kuat berdiri sejenak dan kemudian menggelepar rebah di tanah.
Setelah memastikan ayam sudah mati, maka ibu saya membawa ayam untuk diletakkan di dalam baskom besar yang kemudian diseduh dengan air mendidih.