JAKARTA, KOMPAS.com - Kepolisian dan aparat pemerintah hingga tingkat desa diminta memastikan kebebasan beragama bagi jemaat Ahmadiyah.
Meski kehidupan beragama yang dialami kelompok Ahmadiyah dinilai semakin baik, tetapi masih ada tindakan intoleransi berupa pemaksaan keyakinan terhadap jemaat Ahmadiyah.
Hal itu disampaikan perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) ketika bertemu Kompas.com di Jakarta, Kamis (30/6/2016).
Hadir Sekretaris Umur Kharijilah JAI Kandali Achmad Lubis, Mubaligh Jamaah Ahmadiyah wilayah NTB Saleh Ahmadi, Jemaat Ahmadiyah Lombok Timur Monginsidi, dan Tantowi Anwari (Thowik) dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK).
Hal itu disampaikan mereka menyikapi tindakan aparatur tingkat dusun di Dasan Bagik, Lombok Timur, NTB, yang dianggap melakukan pemaksaan keyakinan terhadap jemaat Ahmadiyah.
Jemaat Ahmadiyah sempat diminta meninggalkan keyakinan mereka, hingga "ditahan" oleh polisi.
Mereka mengapresiasi langkah pemerintah pusat hingga tingkat kabupaten yang merespons tindakan aparatur dusun pascakejadian. Harapannya, kedepannya tidak ada lagi pemaksaan keyakinan.
Kronologi
Monginsidi menceritakan, mulanya ia, istri dan anaknya, serta dua rekannya melaksanakan shalat tarawih di rumah pada Rabu (14/6/2016) malam.
Seusai shalat, mereka didatangi tiga orang perangkat Kadus. Mereka menanyakan kegiatan apa yang dilakukan di dalam rumah dan dijawab tarawih.
Tak lama, datang Polmas, Kades Bagik Manis, Camat Sambelia, Kasat Intel Polsek Sambelia dan dua polisi lainnya dari Polsek Sambelia. Mereka juga menanyakan hal yang sama. Jawaban sama disampaikan.
Camat meminta agar pembicaraaan dilakukan di kantor Kecamatan. Monginsidi dan dua rekannya kemudian dibawa ke kecamatan.
Ternyata di kecamatan, Kades meminta petugas KUA untuk membina jemaat Ahmadiyah. Monginsidi merasa disudutkan ketika membahas soal keyakinan.
"Camat bilang langsung amankan saja ke Polsek. Dibilang banyak massa di kampung. Padahal di rumah tidak ada siapa-siapa," cerita Monginsidi.
Polisi juga menjemput lima jemaat Ahmadiyah lain dan dibawa ke Polsek. Di sana, mereka diinterogasi soal keyakinan yang dianut.
Setelah interogasi selesai, delapan anggota Jemaat Ahmadiyah dibawa ke Polres. Mereka tidak diizinkan pulang. Jika memaksa pulang, Kapolsek mengaku tidak bertanggungjawab atas keselamatan mereka.
"Kalau kamu mau pulang harus tanda tangan surat pernyataan bahwa jika terjadi sesuatu pada kamu, kami tidak tanggung jawab. Kami tinggal bawa ambulan besok," cerita Mongisidi mengutip pernyataan Kapolsek.
Pukul 1.00, mereka kemudian dibawa ke Polres Lombok Timur. Namun, petugas jaga Polres menerima informasi dari Kapolsek bahwa mereka datang untuk mengamankan diri. Dengan demikian, segala keperluan mereka tidak ditanggung polisi.
Kepada petugas jaga, Monginsidi lalu membantah dan menyebut mereka sebenarnya diamankan polisi.
"Petugas jaga menelepon Kapolsek. Kapolsek datang lagi ke Polres dan marah-marah mengatakan bahwa kami memutar balik fakta," cerita dia.
Ia menambahkan, Kapolres sempat menemui muspida dan masyarakat Sambelia. Pada Jumat, delapan jemaat Ahmadiyah kemudian dibawa ke kantor bupati Lombok Timur.
Di sana, Kapolres menyampaikan bahwa jemaat Ahmadiyah tetap bisa diterima masyarakat. Namun, ada tiga tuntutan, yakni mubaligh diminta tidak datang ke desa, shalat tidak berjamaah, dan tidak ada pertemuan anggota Ahmadiyah.
"Itu sifatnya sementara. Kami terima. Kapolres sempat tekankan ke Camat Sambelia tentang SKB. Kapolres bilang SKB bukan pelarangan (ajaran Ahmadiyah), jangan disalahartikan," kata Mongisidi.
Di Masjid itu sudah menunggu Kepala Desa Bagik Manis dan beberapa staf Desa, Danramil serta polisi dari Polsek Sambelia. Di sana, masalah kembali muncul yang bertolak belakang dengan hasil pertemuan di kantor Bupati.
Jemaat Ahmadiyah disodorkan surat pernyataan, salah satunya bersedia keluar dari Ahmadiyah. Mereka diminta menandatangani jika tetap ingin tinggal di Dusun Dasan Bagik.
Seluruh jemaat Ahmadiyah menolak. Atas penolakan tersebut, aparat desa menekankan tidak bertanggungjawab jika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap mereka.
Akhirnya, mereka bersedia tandatangan, tetapi dengan mencoret poin keluar dari Ahmadiyah. Menurut Monginsidi, sebenarnya poin lain mengganggu pihaknya dalam menjalankan ibadah. Namun karena keadaan tertekan, pihaknya akhirnya menandatangani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.