Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya kesemrawutan penyelenggaraan penerbangan sipil komersial yang bercampur baur dengan kepentingan latihan dan operasi Angkatan Udara di Halim.
Kesemrawutan itu pada akhirnya memang mencapai puncaknya pada saat terjadi tabrakan “konyol” pesawat terbang antara pesawat Batik Air dan pesawat Trans Nusa, awal April 2016.
Amburadulnya penataan dan pengelolaan penerbangan sipil komersial di Halim yang sangat mengganggu itu masih juga berlangsung hingga saat ini.
Sebenarnya, salah satu dari penyebab utama terjadinya kecelakaan pesawat terbang itu adalah karena sangat terbatasnya infrastruktur yang tersedia di Halim.
Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, dengan 4 skadron Udara, satu skadron teknik pemeliharaan pesawat dan dua batalion Paskhasau hanya memiliki satu runway saja dan tempat parkir pesawat yang sangat sempit.
Untuk mengembangkan infrastruktur di SHIA (Soekarno Hatta International Airport) dalam menanggulangi masalah kelebihan kapasitas yang terjadi, Angkasa Pura 2 antara lain telah memutuskan mengalih-fungsikan lapangan golf yang terletak di kawasan Cengkareng.
Mungkin hal ini dapat dicontoh, bila memang Halim tidak bisa dihindarkan lagi untuk tetap digunakan bagi penerbangan sipil komersial. Di kawasan Halim terdapat tiga buah lapangan golf, yang kiranya bisa saja 1 atau 2 diantaranya dialih-fungsikan bagi keperluan pengembangan infrastruktur penerbangan.
Langkah ini paling tidak dapat lebih memberikan ruang gerak bagi pesawat-pesawat terbang Angkatan Udara untuk latihan yang selama ini sudah terlanjur terdesak keberadaannya oleh penerbangan sipil komersial.
Sedikit beruntung, karena pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara komisi 5 DPR RI dengan Menteri Perhubungan Republik Indonesia beberapa waktu setelah kejadian tabrakan pesawat terbang di Halim itu telah dicapai kesepakatan yang agak menggembirakan.
Pada prinsipnya, ketua komisi 5 DPR RI mengajukan saran untuk mempertimbangkan kembali agar fungsi Halim sebagai Pangkalan Angkatan Udara dikembalikan. Penerbangan sipil komersial hendaknya dapat dipindahkan dari Halim.
Saran tersebut diterima dengan baik dan bijaksana oleh Menteri Perhubungan yang akan mempertimbangkan dengan serius usulan tersebut, walau dengan catatan bahwa dalam pelaksanaannya pasti akan memakan waktu cukup lama yaitu sekitar satu hingga dua tahun ke depan.
Paling tidak, dengan telah terjadinya kecelakaan tabrakan pesawat terbang di Halim, maka hal tersebut telah membuka mata banyak pihak tentang bagaimana amburadulnya pengelolaan penerbangan sipil komersial yang terjadi di Halim selama ini.
Sebuah kecelakaan yang seharusnya tidak mungkin bisa terjadi, apabila infrastruktur penerbangan cukup memadai dan semua pihak yang berkepentingan serta terlibat dalam operasi penerbangan di Halim selalu patuh mengikuti semua ketentuan, regulasi dan aturan-aturan dengan penuh disiplin.
Besar harapan ke depan, kiranya hikmah dari terjadinya kecelakaan tabrakan pesawat terbang di Halim tersebut akan dapat merupakan garis awal perbaikan manajemen penerbangan sipil komersial di negeri ini khususnya di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma.
Sebuah kecelakaan konyol yang telah dan semoga, sekali lagi dapat menyadarkan kita semua tentang betapa “amburadulnya” pengelolaan penerbangan sipil komersial kita.
Kecelakaan yang telah membangunkan kita semua bahwa selama ini memang banyak sekali kekurangan yang harus segera diperbaiki, banyak sekali PR yang masih harus segera dikerjakan.
Aristoteles pernah mengatakan dengan amat gamblang bahwa “Knowing yourself is the beginning of all wisdom”.
Semoga !
Jakarta 26 Juni 2016
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.