Jika kita cermati secara lebih jernih, dalam konteks politik Indonesia saat ini, Jokowi sebagai presiden kerap harus menghadapi posisi yang terjepit di tengah pertarungan oligarki ekonomi politik yang membuatnya harus bermanuver dengan licin dan cerdas.
Jokowi sejatinya adalah anak kandung dari era politik baru ini sendiri. Ia membawa perubahan sekaligus pelajaran berharga bagi institusi politik lama (agar berubah) sekaligus menyadarkan pentingnya partisipasi rakyat dalam isu-isu publik melalui instrumen politik baru ini.
Media sosial terkadang perannya tidak cukup independen karena disebabkan masih terdapatnya bias-bias kepentingan pemilik modal dan kelompok penguasa yang melatarbelakanginya.
Apalagi tak semua orang di negeri ini yang bisa mengakses dan mendistribusikan informasi secara jernih dalam berbagai kasus sensitif.
Dalam banyak kasus, khususnya pada isu-isu politik kekuasaan, arena perbincangan publik seringkali bukanlah sebuah arena normatif yang bebas kepentingan. Justru ia adalah arena kontestasi yang sesungguhnya, berupa sebuah arena pertempuran antar berbagai kepentingan ekonomi-politik, antar aktor atau kelompok kekuatan.
Di sinilah pentingnya menjaga kehadiran masyarakat sipil yang berpegang teguh pada advokasi isu-isu atau agenda-agenda kerakyatan dan idealisme moralitas publik.
Di tengah pertarungan politik (real politics) yang gaduh, tajam, kejam dan membosankan, maka rakyat sebaiknya tetap disajikan dengan nilai-nilai yang ideal sehingga kesalehan dan kepercayaan publik serta kebijaksanaan politik tetap terjaga.
Rakyat tetap percaya bahwa para pemimpinnya bersungguh-sungguh bekerja untuk mereka dan tidak berselingkuh untuk memenangkan kepentingan pribadi, golongan atau mungkin sponsor ketimbang kepentingan rakyat.
Era pemerintahan Presiden Jokowi ini adalah masa pergeseran era politik lama menuju era politik baru. Pertempuran menuju sebuah rekonfigurasi dan rekonsolidasi politik baru menjadi menarik karena tidak lagi menggunakan pemahaman dan format "politik lama".
Parpol bahkan terancam mengalami ‘deparpolisasi’ jika gagal berubah dan beradaptasi.
Nasihat saya, meskipun di era "new politics" ini individu rakyat cenderung dipentingkan ketimbang institusi, namun jangan hancurkan pilar dan institusi yang sudah membentuk, membangun dan menjaga negara-bangsa beserta spirit dan tradisi-tradisi otentik pluralisme ke-Indonesia-an sekian lama.
Jika mereka selama ini dinilai keropos dan berkinerja buruk maka tanggung jawab kita untuk memperbaiki.
Proporsionalitas politik tetap penting untuk menjaga sejarah dan nilai-nilai pembentukan negara-bangsa kita. Karena hanya dengan merawat sejarah kebangsaan kita, maka kita sebagai bangsa akan memiliki karakter juara dan tidak tersesat dalam pertarungan geopolitik global.
Selamat datang rejim politik baru Indonesia. Semoga bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat serta kemajuan bangsa dan negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.