Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.
Suara dari publik, antara lain melalui kehadiran media sosial, menjadi penting untuk menyeimbangkan relasi-relasi politik yang beku dalam sebuah organisasi yang bersifat elitis oligarkis. Tentunya termasuk menetralisasi pengaruh dan infiltrasi kepentingan korporasi dan modal pada tataran elite partai dalam proses-proses pengambilan kebijakan.
Dalam bukunya berjudul Democratic Innovations (2009), Graham Smith menyatakan pentingnya memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi warga dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.
Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.
Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi.
Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.
Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.
Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara institusional.
Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap lembaga negara.
Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan kepentingan-kepentingan pemodal.
Konfigurasi Politik Baru
Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan kemitraan, aspek jaringan antaraktor, aspek transparansi dan aspek interaksi/keterlibatan (engagement) dari warga pada berbagai isu publik.
Dalam konteks pengadaptasian era demokrasi digital ini, aktor dan institusi politik harus memahami sebuah proses sosiologis bernama "civic talk" atau ruang perbincangan publik yang sangat terbuka berdasarkan nilai-nilai dan moralitas publik.
Perbincangan publik ini kerap menghasilkan sebuah opini dominan yang secara langsung, dalam banyak kasus, mampu mempengaruhi berbagai keputusan-keputusan strategis terkait isu tertentu.
Terkadang sukses dalam mendikte perilaku atau kebijakan penguasa yang dianggap menyalahi rasionalitas dan idealisme publik. Namun tak jarang yang gagal dan membentur resistensi penguasa dan klas elite oligarki.