Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dimas Oky Nugroho

Pengamat politik ARSC. Founder Kader Bangsa Fellowship Program (KBFP)

Suara Rakyat, Media Sosial dan "The New Politics"

Kompas.com - 21/06/2016, 19:11 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnu Nugroho

Meminjam pada pendekatan Bevir tadi, bagi organisasi publik semacam institusi pemerintah, ormas ataupun parpol, kunci keberhasilan mereka di era politik baru ini adalah kemampuan beradaptasi dengan tren keterbukaan dan partisipasi yang dibawa seiring perkembangan teknologi informasi dan media sosial ini.

Suara dari publik, antara lain melalui kehadiran media sosial, menjadi penting untuk menyeimbangkan relasi-relasi politik yang beku dalam sebuah organisasi yang bersifat elitis oligarkis. Tentunya termasuk menetralisasi pengaruh dan infiltrasi kepentingan korporasi dan modal pada tataran elite partai dalam proses-proses pengambilan kebijakan.

Dalam bukunya berjudul Democratic Innovations (2009), Graham Smith menyatakan pentingnya memastikan prinsip-prinsip demokrasi dan partisipasi warga dilaksanakan secara "murni" untuk memastikan warga (baca: rakyat) secara formal terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan-keputusan strategis.

Rakyat tak lagi dipandang sebagai pinggiran, lokal, periferi, penonton atau mungkin dengan stigma komunis bahkan fundamentalis. Smith menawarkan sebuah inovasi demokrasi yang ingin memastikan rakyat (bisa) terlibat secara lebih bermartabat.

Problemnya saat ini adalah sistem politik yang ada menjadikan demokrasi terlalu formal prosedural, struktural, rumit dan bahkan dikuasai atau dimanipulasi oleh elite-elite oligarki tadi.

Kerap rakyat hanya menjadi penonton dan resisten karena merasa tidak dilibatkan.

Ricardo Blaug (2002) membedakannya dengan critical democracy dengan incumbent democracy. Critical democracy adalah rakyat yang tereksklusi dari proses perumusan kebijakan dan mereka melakukan resistensi terhadap elite dominan.

Sebaliknya, incumbent democracy adalah elite dominan yang memiliki kapabilitas untuk melakukan agenda setting politik sesuai kepentingan mereka secara institusional.

Realitasnya, angka golput dan apatisme politik cenderung menjadi tinggi dalam setiap pemilu. Warga tidak percaya dengan para politisi yang mengaku sebagai wakil atau pemimpinnya, terhadap institusi politik seperti partai dan bahkan terhadap lembaga negara.

Padahal demokrasi dibutuhkan sebagai alat kontrol publik untuk mengawal formulasi dan pelaksanaan kebijakan, untuk mendorong partisipasi publik dalam politik, serta menjamin inklusifitas dan perlindungan terhadap hak-hak sipil warga negara tanpa terkecuali sekaligus melindungi kepentingan publik dari pembajakan kepentingan-kepentingan pemodal.

Konfigurasi Politik Baru

Satu hal yang tak bisa dihindari dalam era digital ini adalah aspek inklusivitas dan kemitraan, aspek jaringan antaraktor, aspek transparansi dan aspek interaksi/keterlibatan (engagement) dari warga pada berbagai isu publik.

Dalam konteks pengadaptasian era demokrasi digital ini, aktor dan institusi politik harus memahami sebuah proses sosiologis bernama "civic talk" atau ruang perbincangan publik yang sangat terbuka berdasarkan nilai-nilai dan moralitas publik.

Perbincangan publik ini kerap menghasilkan sebuah opini dominan yang secara langsung, dalam banyak kasus, mampu mempengaruhi berbagai keputusan-keputusan strategis terkait isu tertentu.

Terkadang sukses dalam mendikte perilaku atau kebijakan penguasa yang dianggap menyalahi rasionalitas dan idealisme publik. Namun tak jarang yang gagal dan membentur resistensi penguasa dan klas elite oligarki.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com