Tidak hanya dibebankan kelebihan traffic SHIA yang sudah terlanjur salah urus itu, Halim juga telah menjadi ajang penambahan rute dan slot penerbangan berjadwal yang sama sekali baru, sesuai dengan kajian peluang pasar bagi bertambahnya keuntungan komersial pada rute-rute tersebut.
Anehnya, pasca terjadinya tabrakan pesawat terbang di Halim (karena padatnya traffic), yang terjadi sesudahnya adalah bukan mengurangi jumlah frekuensi penerbangan agar lebih mudah dikendalikan, namun justru menambah lagi jumlah penerbangan dengan rute dan slot yang baru, sekali lagi dengan pertimbangan semata kepada permintaan pasar.
Faktor keselamatan penerbangan, apalagi unsur kepentingan sang tuan rumah (latihan terbang Angkatan Udara) sama sekali menjadi terabaikan.
Sekali lagi, terlihat bahwa keuntungan komersial yang bersifat materialistis kemudian mengabaikan hal-hal yang tidak terkait langsung dengan kenaikan jumlah keuntungan yang menjadi target utamanya.
Sama sekali tidak terlihat kebersamaan dalam pengelolaan Halim sebagai fungsinya dalam aspek komersial dengan penggunaan dan fungsinya pada aspek hankamneg.
Halim memang hanya diperlukan saat pengelola penerbangan sipil komersial menghadapi masalah besar, yaitu saat membangun SHIA dan pada saat SHIA sudah terlalu padat traffic penerbangannya.
Pada saat SHIA selesai di tahun 1985, Halim ditinggalkan begitu saja, bangunan dan instalasi menjadi kumuh tidak terawat sama sekali. Mereka kemudian datang kembali ke Halim , saat SHIA sudah terlalu penuh dengan hanya me “make-up” ala kadarnya.
Demikian pula halnya dengan pemberangkatan dan kedatangan bagi penerbangan haji. Saat masih mampu memperoleh keuntungan, maka penerbangan haji diselenggarakan di SHIA.
Namun saat menghadapi kesulitan dan tidak menguntungkan lagi, penerbangan haji dikembalikan lagi ke Halim dengan catatan untuk efisiensi yaitu dengan alasan asrama haji yang lokasinya dekat dengan Halim.
Semua itu memberikan gambaran terang benderang tentang mutu dan bagaimana “kualitas” manajemen penerbangan sipil komersial di Indonesia.
Dominannya kegiatan penerbangan sipil komersial di tengah-tengah instansi dan instalasi pertahanan keamanan negara telah menjadikan Halim sangat rawan dalam aspek “national security awareness”.
Agak berbeda dengan PSSI yang terlihat begitu panik saat dikeluarkan dari FIFA karena tidak menyesuaikan diri dengan statutanya. Pada waktu itu terlihat semua pihak berusaha mati-matian dan segera berupaya untuk dapat kembali menjadi anggota FIFA.
Tidak demikian halnya dengan pengelola penerbangan sipil komersial yang sudah sejak tahun 2007 tetap tidak mampu untuk “comply” dengan International Civil Aviation Safety Standard dari ICAO ( International Civil Aviation Organization).
Solusi pemecahan masalah terhadap kelebihan kapasitas di SHIA yang hanya memindahkan masalahnya ke Halim memberikan kesan tentang tingkat kemampuan dalam mengelola penerbangan sipil pada aspek keselamatan terbang.
Demikian pula dengan tindakan menambah jumlah rute dan slot penerbangan setelah terjadinya tabrakan di Halim, menambah panjang lagi daftar pertanyaan tentang apa gerangan yang sebenarnya menjadi pedoman dasar dalam mengelola penerbangan sipil dalam aspek keselamatan penerbangan di Indonesia.
Itu masih ditambah dengan insiden keluarnya penumpang rute Internasional Maskapai Lion Air melalui terminal domestik di SHIA belakangan ini.
Yang sangat parah adalah bagaimana otoritas penerbangan Internasional melihat betapa ajaibnya, sebuah maskapai penerbangan di Indonesia yang telah melakukan kesalahan dan kemudian dijatuhkan sanksi oleh otoritas penerbangan sipil justru melawan dengan mengadukannya ke pihak kepolisian.
Itu semua telah membawa Indonesia jadi semakin jauh terlihat dari upaya yang dikerjakan untuk mematuhi regulasi keselamatan penerbangan sipil Internasional dari ICAO.
Sebuah pertunjukkan yang sangat kontra produktif dari usaha keras Kementrian Perhubungan belakangan ini yang ingin segera menaikkan tingkat penilaian FAA (Federal Aviation Administration) dari kategori 2 ke Kategori 1 dan upaya meraih kepercayaan untuk menjadi “counsil member” di ICAO.
Di sisi lain, sebenarnya dengan kepala dingin dan berorientasi kepada banyak kepentingan yang harus difasilitasi, masih ada beberapa cara “sementara” untuk mengatasi kesemrawutan traffic yang terjadi.
Manajemen SHIA Cengkareng, dalam upaya mengatasi traffic penerbangan belakangan ini yang juga ternyata terus bertambah, telah memutuskan untuk segera menutup satu-satunya lapangan golf yang berada di dalam kawasan aerodrome SHIA, semata untuk meningkatkan derajat keselamatan penerbangan sipil komersial di sana.