Saat menyampaikan pidato pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni di Gedung DPR/MPR, Rabu, 1 Juni 2011, mantan Presiden ke-3 RI BJ Habibie menyatakan, Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai alat untuk menekan kelompok-kelompok yang dianggap tidak sepaham dengan pemerintah. Soeharto mendekati pancasila sebagai ornamen mistik ketimbang rasional.
Atas nama Pancasila, Soeharto memberi label “PKI” kepada siapa saja yang dianggap berseberangan dengan pemerintahannya. Label itu adalah obat mujarab bagi justifikasi penangkapan orang.
Atas nama Pancasila juga, diskusi-diskusi yang tidak disukai pemerintah dilabeli “PKI” dan dibubarkan. Pula, atas nama Pancasila, buku-buku yang dicap kiri yang notabene merupakan hasil studi akademis guna memahami sejarah peradaban umat manusia diberangus.
Di era itu, Pancasila kehilangan rasionalitasnya untuk dipahami dan dihayati. Ia seperti arca mistik yang dijadikan alat pembenar atas kepentingan kekuasaan.
Para jenderal purnawirawan
Hari-hari belakangan ini, kita merasakan nuansa orde baru itu seperti hadir kembali di tengah kehidupan kita. Pancasila seperti kehilangan rasionalitas pemahamannya ketika ia disandingkan dengan derasnya teriakan soal kebangkitan Partai Komunis Indonesia.
Yang berbahaya malah bukan PKI-nya, tapi dampak atas phobia yang ditimbulkannya. Baca: Gambar Palu Arit, Kuntilanak yang Mencederai Akal Sehat Kita.
Hantu komunis itu, demikian didengungkan, menyusup diam-diam dalam kehidupan masyarakat. Dalam sebuah pemberitaan media online, Mayjen (Purn) Kivlan Zen (lagi-lagi tentara), yang juga berdiri di barisan pendukung Simposiun Pancasila, bahkan mengarahkan telunjuknya pada Majalah Tempo dan Metro TV sebagai corong komunis.
Disebut juga, Universitas Islam Negeri sebagai sarangnya orang-orang komunis. Ia juga menuding politisi PDI-P Budiman Sudjatmiko sebagai antek PKI. Dalam sejumlah kesempatan, Kivlan bersuara paling kencang soal ancaman PKI ini.
Betul, ideologi komunis memang tidak layak lagi dijadikan pegangan. Sejarah menunjukkan catatan kelam atas ideologi ini. Namun, permasalahannya adalah, menyatakan bahwa PKI berbahaya dan mengindentifikasi siapa dan apa PKI saat ini adalah dua hal yang berbeda.
Majalah Tempo dan Metro TV sebagai corong komunis? UIN sarang komunis? Film Pulau Buru Tanah Air Beta adalah PKI? Film senyap adalah propaganda PKI? Mereka yang membaca buku-buku Marx dan komunisme otomatis menjadi seorang komunis? Anak-anak keluarga PKI otomatis adalah komunis?
Tidakkah Anda melihat betapa berbahayanya tudingan itu?
Aura yang lebih mengerikan juga coba dibangun. Menurut Kivlan, PKI telah membentuk struktur partai mulai dari tingkat pusat hingga daerah. Partai terlarang ini Ia juga disebut telah menyiapkan hingga 15 juta pendukung.
"Susunan partai sudah ada, pimpinan Wahyu Setiaji. Dari tingkat pusat sampai daerah," ujar Kivlan saat ditemui di sela acara Simposium Pancasila di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (1/6/2016). Baca: Kivlan Sen Sebut PKI Bangkit dan Dipimpin Wahyu Setiaji.
Menanggapi pernyataan Kivlan, Luhut menantangnya untuk membuktikan kebenaran informasi tersebut. Secara terpisah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menganggap Kivlan hanya mengarang cerita. Baca: Sebut PKI Bangkit, Kivlan Dianggap "Ngarang" Cerita.
Sementara, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tak mau ikut serta dalam genderang yang dimainkan Kivlan. Baca: Mendagri: Saya Tidak Mau Ikut Genderang Kivlan Zen.
Jadi, kembali pada pertanyaan di atas, soal PKI ini, betulkah ia bangkit dan menjadi ancaman terhadap Pancasila atau itu sekadar "permainan" demi kepentingan kelompok tertentu?
Kalau "amarah" para jenderal pensiunan yang tidak setuju dengan Simposium Tragedi 65 itu dilampiaskan di lapangan bola silakan saja, tapi kalau "amarah"nya berdampak pada hilangnya hak kita sebagai warga negara atas ruang publik yang terbuka dan demokratis dan atas hak untuk mendapatkan informasi demi menjaga kewarasan berpikir sebagai bangsa, ini persoalan serius dalam praktik bernegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.