JAKARTA, KOMPAS.com — General Manager PT PLN (Persero) Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang Syamsul Huda berharap agar fatwa Nomor 17 Tahun 2016 tentang Pencurian Energi Listrik dapat menekan angka pencurian listrik yang selama ini membebani PLN.
Ia mengatakan, idealnya potensi hilangnya energi yang menjadi beban PLN adalah sebesar 5,5 persen. Namun, hingga saat ini, potensi hilangnya energi masih di angka 6,71 persen.
"Berarti ada 1,21 persen yang kami ingin dengan adanya fatwa ini bisa turun," ujar Syamsul di Balai Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (31/5/2016).
Syamsul menjelaskan, penyalahgunaan listrik dibagi menjadi empat kategori. Pertama, pencurian listrik dengan mengubah batas daya.
Dia mencontohkan modus ini dilakukan dengan ciri alat pembatas (kWh) hilang, rusak, atau putus. Selain itu, kemampuan daya juga tidak sesuai dengan surat perjanjian jual beli tenaga listrik (SPJBTL).
Modus kedua, yaitu dengan cara memengaruhi pengukuran energi.
(Baca: MUI Resmi Keluarkan Fatwa Haram Pencurian Listrik)
"Seperti segel tera pada alat pengukur hilang, rusak, putus, atau tidak sesuai dan alat pengukur tidak berfungsi sebagaimana mestinya," tutur dia.
Adapun modus ketiga adalah gabungan dari pelanggaran pertama dan kedua, atau menyambung kabel secara ilegal.
Sedangkan modus pelanggaran keempat, yaitu pelanggaran yang dilakukan bukan oleh pelanggan.
"Misalnya, menggunakan listrik tanpa melewati alat pengukur dan alat pembatas daya (APP), seperti mencantol dari tiang, PJU (penerangan jalan umum) yang tidak menggunakan APP, dan lain sebagainya," kata Syamsul.
Sebelumnya, MUI resmi mengeluarkan fatwa haram bagi pencurian energi listrik. Fatwa MUI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Hukum Pencurian Energi Listrik.
Dalam fatwa itu dijelaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan, membantu dengan segala bentuknya, dan atau membiarkan terjadinya pencurian energi listrik.