JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, anggota DPR sebaiknya mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan saat pelantikan.
Mereka harus memilih apakah tetap menjadi wakil rakyat atau kepala daerah.
"Jangan main-main dengan jabatan," kata Siti saat ditemui di Jakarta, Selasa (24/5/2016).
Menurut Siti, pada prinsipnya siapapun anggota DPR yang mau mencalonkan diri sebagai kepala daerah tetap harus mundur sebagai anggota legislatif. Hal itu sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
"Inikan dia (anggota DPR) sudah disumpah lalu mau jabatan yang lain atau gimana?" ujarnya.
(baca: Anggota DPR Khawatir Pilkada Sepi jika Anggota Dewan Harus Mundur)
Siti mengatakan, anggota DPR yang tidak mau mundur dari jabatannya sama saja seperti 'petualang politik'. Pasalnya, anggota DPR baru mau mundur saat terpilih dan dilantik menjadi kepala daerah.
Jika gagal dalam pilkada, maka mereka kembali lagi menjadi anggota Dewan.
(baca: Anggota DPR yang Enggan Mundur Ingkari Amanat Konstituen)
"Inikan baru mau mundur kalau ada kepastian menang. Ya, enak di dia dong kalau begitu," katanya.
Menurut Siti, anggota DPR jangan sampai menghambat sistem pengkaderan di dalam partai. Jika anggota DPR tidak perlu mundur, maka hal itu sama saja mencegah kader partai lainnya yang mampu maju dalam berkontensasi Pilkada.
"Ini nggak boleh, akhirnya sirkulasi macet karena seolah-olah menjadi kepala daerah hanya untuk orang-orang tertentu," ujar dia.
Sejumlah Fraksi di DPR mengusulkan agar anggota DPR, DPD dan DPRD yang menjadi calon kepala daerah tidak perlu mundur dari jabatannya. Anggota yang ingin maju diminta cukup mengajukan cuti.
(baca: Sejumlah Fraksi Minta Anggota DPR yang Ikut Pilkada Tak Perlu Mundur)
Usulan ini mengemuka dalam rapat Komisi II DPR dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo terkait Revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/4/2016).
Sejak putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015, anggota DPR, DPD dan DPRD harus mengundurkan diri setelah ditetapkan sebagai pasangan calon.
MK mewajibkan anggota Dewan yang telah ditetapkan sebagai calon kepala daerah untuk mundur dari jabatannya.
(baca: Pasca-putusan MK, Anggota Dewan Tak Bisa Coba-coba Ikut Pilkada)
Hal itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi pemangku jabatan di instansi pemerintah lainnya yang diwajibkan untuk melakukan hal yang sama.
MK berpandangan bahwa Pasal 7 huruf s Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut bersifat diskriminatif, menunjukkan adanya pembedaan syarat yang merugikan hak konstitusional warga negara.
Bunyi pasal tersebut adalah, "Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat bagi anggota DPR, kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bagi anggota DPRD."
MK menilai bahwa kewajiban mengundurkan diri dari jabatan saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seperti yang dikenakan pada pegawai negeri sipil, anggota TNI/Polri, serta pejabat dan pegawai BUMN/BUMD, juga seharusnya berlaku bagi legislator yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah.