Dengan cara yang bersahaja, aku ajak demua peserta bersemangat. "Angkatlah tanganmu tinggi tinggi lalu bertepuklah sepuasnya untuk anak muda Indonesia," kataku.
"Sudah siap? Are you ready?" kataku bertanya.
"Siap", jawab mereka serentak.
"Terima kasih. Kita ini #bangsajuara," kataku memulai bicara, tanpa podium tanpa meja.
Dengan sepatu sports, celana jeans kaus putih bertuliskan #bangsajuara dan dililit ulos coklat tanda kearifan lokal aku mengajak semua peserta diskusi.
"Kita tidak sedang kuliah dan seminar, tapi kita sedang berkumpul untuk memastikan generasi juara Kepri peduli kampung halamannya. Kita mau jadi apa? Jadi pemimpin atau pecundang?" kataku meyakinkan motivasi anak muda memaknai hari Kebangkitan Nasional dan Reformasi.
Dengan dibantu slide sederhana dan dua video pendek aku berdialog lancar.
Hari Kebangkitan Nasional bertitik tolak dari berdirinya Budi Utomo, suatu organisasi yang didirikan oleh pemuda mahasiswa dan akademisi di tahun 1908, yang perjuangannya membawa pada kesadaran akan kesatuan bangsa dan tanah air Indonesia di tahun 1928 melalui Sumpah Pemuda.
Dan sejak itu sejarah terus mencatat peran besar pemuda-pemudi yang membawa perubahan akan nasib bangsa ke arah progresif ke tahun 1945 melalui kemerdekaan Indonesia, lalu bergerak terus melaju ke angkatan 1966, angkatan 1977 melalui peristiwa Malari hingga angkatan 1998 di Hari Reformasi.
Itulah perjuangan pemuda. Entah itu menggunakan senjata bambu runcing, pena dan kertas, surat kabar. Namun apapun media yang mereka gunakan, yang menjadi persamaan adalah buah pikir yang lahir dengan semangat nasionalisme.
Sekarang dengan teknologi yang maju, generasi abad 21 memiliki media Demokrasi yang jauh lebih besar dan masif pengaruhnya. Tak terbatas oleh waktu dan tak dihalangi oleh tempat. Borderless!
Apa itu? media sosial dalam genggaman. Twitter, Facebook, Instagram dan banyak lagi bentuknya. Maka lokasi bukanlah masalah, tak hanya nasional bahkan seluruh dunia bisa tahu suara kita.
Dunia ditangan mu, dinamikanya di ujung jari jemari mu. Sentuh dan sentuh, huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat merangkai makna mengguncang dunia.
“Hari ini, saya mau kalian tuliskan hendak menjadi apa kau 20 tahun mendatang nanti. Tuliskan di belakang kartu yang telah dibagikan, dan simpan dalam dompetmu. 20 tahun kemudian kau buka lagi dan kau lihat, apakah kau telah mencapai mimpimu?”,kataku melemparkan teriakan dengan lantang kepada ratusan mahasiswa dan pemuda Kepri.
Selepas itu aku terus bicara dan mengajak peserta berdialog. "Sekarang, matikan lampu di ruangan ini. Kita dengarkan pidato bung Karno di depan sidang PBB tentang Pancasila,” kataku.
Semua mengarah ke screen dan mendengarkan pidato singkat bung Karno. "... fifth, social justice", mengakhiri pidatonya dan disambut standing applause yang meriah. Tanpa diperintah semua anak muda di ruangan itu bertepuk tangan.
Setelah hening sejenak, saya bertanya kepada mereka.
“Pemuda Pemudi Kepri apa yang hendak kau sampaikan? Apa yang bisa kau lakukan bagi daerahmu, bagi negerimu? Untuk apa kita bertemu di sini kalau kemudian pulang tanpa HOPE (harapan) dan the great future?".
Apa pandangan dan sikapmu tentang Natuna, yang tadi sudah saya jelaskan? Saya minta pendapat dan ide anda. Kita apakan Natuna? Kita diamkan? Kita cuekin?
Bukankah Natuna itu beranda terdepan negeri ini? Bukankah Tiongkok sedang mengembangkan konsep "Laut Cina Selatannya untuk kepentingannya?"
Ayo ke Natuna. Ayo jaga Natuna. Ayo sayang Natuna.
"Mari kita catat 10 ide utama, lalu kita pilih satu diantaranya menjadi hastag (#) kita bersama sebagai panggung raksasa kita menyatukan energi untuk Natuna,"kataku dengan membuat contoh Natuna Movement.
Lalu meluncur deras satu demi satu usulan sampai 10 ide. Ada yang usul Natuna Bahagia, Save Natuna, sampai ke Natuna Jantung Indonesia.
Sambil terus mencatat ide ide cerdas itu, saya mengingatkan akan pentingnya isu Natuna dalam perspektif dunia internasional, yang akan dimainkan China, USA bahkan Rusia dan negeri lainnya.
Lalu, dengan aktif dan sigap mereka mencetuskan lagi berbagai ide mereka untuk sebutan nama, Gerakan Natuna; The Power of Natuna; Natuna itu nyata; Natuna nyawa negeri ini; Natuna itu Indonesia; Natuna Harga Mati.
"Baik, sekarang kita pilih satu saja untuk gerakan bersama kita sayang Natuna", kataku sambil meminta mereka menjatuhkan pilihan. "63 suara memilih #natunajantungindoneia", kata bung Harria Wijaya menghitungnya.
"Baik, mulai hari ini kita beri ide dan gagasan kita untuk Natuna untuk Kepri dan untuk Indonedia, dengan menggunakan hastag #natunajantungindonesia di setiap akhir tweet kita," kataku mengucapkan selamat.
Selamat dan ungkapan hebat karena anak anak muda Kepri mengejahwantahkan semangat kebangkitan nasional dan semangat reformasi untuk generasi juara menjadi pemimpin masa depan.
Saya mengundang semua berdiri meletakkan tangan kanan di dada kiri, lampu dimatikan lalu menyaksikan video tentang indahnya wilayah Raja Ampat Di Papua Barat Indonesia diiringi lagu "Tanah Airku", karya Ibu Sud yang termashur itu.
Saya merasakan getaran jiwa para pemuda itu, matanya berkaca-kaca, semangatnya membara sebagai anak bangsa; Indonesia!
Dalam suasana haru biru itu kuajak bung Husnizar Hood dan Pepy Chandra ke panggung. Kami larut ikut bernyanyi bersama audience. Dan tiba tiba Husnizar Hood membacakan puisi karya nya sendiri berjudul Syam! diiringi nyanyian lagu Tanah Airku.
SYAM !,
Tulislah tentang laut cina selatan
Aku akan teringat cengkeh yang berbunga di Natuna
Pada peta-peta yang bernama
Di situlah tempat watan bermain membujuk malam
Mengharap bulan bintang jatuh ke telapak tangan