Wayang yang merupakan budaya Hindu menjadi sarana dakwah Islam. Begitu juga dengan musik, tari-tarian, sampai nyanyian kanak-kanak.
"Semua pesantren NU jika ditelusuri, pasti punya kaitan genealogis dengan wali sanga. Jika penelusuran itu tidak sampai pada wali sanga, itu bukan pesantren NU," ujar Abdul Ghaffar Rozin, Ketua Asosiasi Pesantren NU.
Oleh karena itu, pola pendidikan dan dakwah yang dikembangkan di dalam pesantren NU sangat mengakomodasi seni budaya dan kearifan lokal masyarakat sekitar sebagaimana diwariskan wali sanga.
Santri lulusan pesantren NU tidak anti budaya dan karena itu relatif toleran. Sebab, mereka dibekali pemahaman bahwa budaya yang berbeda-beda adalah kenyataan sekaligus bagian dari keunikan Tanah Air yang harus dijaga.
Perbedaan tafsir
Namun, tidak semata-mata akomodasi budaya. Islam Nusantara juga merupakan hasil dialog antarbudaya, seperti diungkapkan Kiai Said dalam kutipan biografinya di atas.
Teks utama Islam yang berasal dari kultur Arab dipertemukan dengan realitas Nusantara yang multikultur. Ada Persia, Cina, Arab, Jawa, Melayu, Madura, Aceh, dan sebagainya.
Ahli hermeneutik dan semiotik (ilmu bahasa, simbol, dan teks) dari Jerman, Hans-Georg Gadamer, menyebutkan, interpretasi atas teks tidak pernah beku.
Ketika teks sudah diproduksi dan dibaca pembaca, pemahaman atas teks itu melahirkan suatu pemahaman baru yang merupakan hasil dialog antara teks dan pembaca.
Contoh praktisnya, teks Al Quran yang dibaca orang Indonesia bisa jadi berbeda maknanya ketika teks yang sama dibaca orang Eropa atau Amerika Serikat.
"Pemahaman atas teks tak pernah lepas dari konteks," demikian Gadamer mengatakan.
Dalam kaitannya dengan paham Islam damai dan toleran oleh NU, Abdul Halim yang menulis Aswaja Politisi Nahdlatul Ulama: Perspektif Hermeneutika Gadamer (2014) menguatkan pandangan itu.
Konteks pembaca yang berbeda melahirkan tafsir yang berbeda atas Al Quran dan hadis. Mengapa? Sebab, manusia pembacanya berasal dari kultur, sejarah, karakter, bahkan motivasi yang berbeda.
Perbedaan itu menyumbang pada hasil dialog atas teks yang berbeda pula. Tafsir atas teks menjadi berbeda.
Dengan kerangka berpikir itu, bisa dipahami mengapa Nico Prucha, peneliti soal Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), di dalam konferensi ISOMIL lalu tak habis pikir bagaimana mungkin sebuah teks yang sama bisa dipahami berbeda.
Peneliti dari University of Vienna, Austria, itu menampilkan video-video kekerasan ISIS yang disertai dengan ayat-ayat Al Quran. Namun, hal semacam itu tidak ditemui di Indonesia.