Jualan politik yang dikemas apik oleh para tim sukses di era modern ini kadang memang melenakan calon pemilih. Para manajer krisis ini dengan cantik mampu membungkus “kucing” untuk dijual sebagai “harimau”, atau dengan mudah mampu mencitrakan kandidat lain sebagai “kucing”, bukan “harimau”.
Salah satu tugas tim sukses adalah bagaimana menjual kandidat biasa saja menjadi kandidat yang mengilap. Jangan-jangan, jualan krisis seperti di film “Our Brand Is Crisis” masih menjadi tren di Indonesia? Jangan-jangan, manajer krisis dan manajer ketakutan hingga saat ini masih saja sedang bekerja?
Jika memang demikian, pantas saja hingga kini jualan krisis dan ketakutan masih laku keras di negeri ini. Kini, isu yang sedang berkembang adalah jualan ketakutan.
Ketakutan ala Indonesia
Orang-orang di penjuru Tanah Air saat ini sedang takut-takutnya jika dituduh menyebarkan paham komunisme atau dikaitkan dengan PKI. Terlepas apakah ketakutan itu riil atau tidak, namun strategi ini berhasil menciptakan krisis dan ketakutan.
Walau para pejabat sendiri sudah mengatakan, secara teknis PKI tak akan mampu bangkit lagi di Indonesia, namun tetap saja jualan ketakutan akan bangkitnya PKI terus digeber di berbagai daerah. Secara hukum sebenarnya sudah tak ada celah untuk khawatir bahwa PKI akan hidup lagi di Tanah Air.
Secara tren, tak ada lagi alasan untuk takut bahwa komunisme akan hidup dan tumbuh lagi di Indonesia. Tapi, seperti dalam film itu, jika memang ini hanya sekadar jualan politik, maka bagi konsultan politik, tak perlu lagi menyusun logika bahwa jalan ini adalah yang paling masuk akal bagi pilihan negeri ini.
Entah siapa yang menjadi manajer jualan ketakutan ini, namun tampaknya tak ada suara keberatan dari mereka yang sedang berkuasa. Kita tak ingin PKI bangkit di Indonesia.
Namun, aksi jualan ketakutan ini bukankah justru memicu banyak orang untuk kembali ingin tahu apa itu PKI dan komunisme?
Di sisi lain, negara justru makin dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dari masyarakat sipil, apakah masih bisa melindungi warganya dari ancaman penangkapan-penangkapan dan pembubaran-pembubaran diskusi yang tidak prosedural? Bukankah ini justru jualan yang gagal?
Siapa yang sebenarnya menjual dan siapa yang sebenarnya saat ini yang sedang membeli? Banyak dari kita yang tak tahu jawabannya. Namun, banyak "Bodine-Bodine" Indonesia yang pasti akan dibuat kecewa dengan strategi branding dan marketing katakutan tak logis ini.
Di banyak negara demokratis, jualan ketakutan ini sudah usang dan sudah ditinggalkan, berganti dengan tema-tema yang memberi harapan, persatuan, dan merengkuh masa depan. Mereka percaya, ketakutan, kebencian, dan perpecahan tak akan membawa kita ke mana-mana, bahkan bisa kembali ke masa silam yang kelam.
Wali Kota London, Inggris, yang baru saja terpilih, Sadiq Khan, terbukti telah mampu membuktikan bahwa politik jualan ketakutan telah berakhir. Khan adalah Muslim pertama di London yang berhasil menjabat Wali Kota, mengalahkan strategi kampanye dari rivalnya yang menjual ketakutan dan perpecahan.
Kini, di kancah jasa konsultasi poltik sudah banyak berbagai peralatan modern berbasis teknologi informasi yang bisa digunakan untuk mengukur efektivitas sebuah branding politik.
Bagi yang percaya masih ada masa depan untuk politik ketakutan, silakan gunakan jasa konsultan yang dipercaya untuk mengukur hasilnya. Masih ingin lanjut?