JAKARTA, KOMPAS.com — Nama mantan Ketua DPR RI Setya Novanto disebut-sebut menjadi salah satu kandidat kuat untuk menduduki kursi ketua umum Partai Golkar pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai Golkar, 15 Mei mendatang.
Namun, Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) Zaenal Budiyono menilai, Novanto bukan sosok yang cukup kuat untuk memimpin partai berlambang beringin itu dan mampu mengangkat partai tersebut kembali merebut kejayaannya.
"Saya tidak melihat apakah dia punya kasus atau tidak, tapi melihat bagaimana publik mempersepsikan dia," ujar Zaenal saat dihubungi, Rabu (11/5/2016).
"Artinya, untuk mengharapkan Pemilu 2019 dari seorang SN tentu bukan pilihan ideal," tambah dia.
(Baca: Luhut: Salah kalau Saya Suka Novanto?)
Golkar, menurut dia, harus berpikir jauh ke depan. Terlebih lagi, sejarah menunjukkan bahwa sejumlah partai politik baru lahir dari kader-kader Golkar yang keluar dan membentuk partai baru. Hal tersebut sebisa mungkin tak terulang kembali.
Ia berharap Golkar dapat kembali besar dan menunjuk calon presiden sendiri. Hal tersebut dapat dilakukan jika Golkar memiliki pemimpin yang baik.
Meski begitu, tak melulu sisi negatif yang melekat pada sosok Novanto.
Zaenal memprediksi, ke depannya, hubungan Golkar dan pemerintah akan baik karena Novanto dianggap memiliki modal hubungan dengan tokoh-tokoh di istana, misalnya Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
"Selain itu, mungkin juga (kalau terpilih ketum) SN ingin juga memperbaiki hubungan dengan Presiden karena sempat dianggap mencatut namanya dalam kasus 'Papa Minta Saham'," tutur Zaenal.