JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo mengakui, sulit membebaskan 10 warga negara Indonesia yang disandera oleh kelompok Abu Sayyaf di wilayah Filipina.
"Jangan suka memudahkan persoalan. Ini persoalan yang tidak mudah," ujar Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Selasa (26/4/2016).
Kesulitan terletak pada beberapa hal. Pertama, konstitusi Filipina yang tak memperbolahkan militer negara asing untuk masuk tanpa melalui persetujuan parlemen. Otomatis, pembebasan 10 WNI diserahkan ke militer Filipina.
Kedua, wilayah operasi para penyandera yang cukup sulit dijangkau. Jokowi mencontohkan, saat militer Filipina mengepung kelompok itu, mereka dengan cepat langsung memindahkan sandera.
Tak heran jika penyanderaan bisa berlangsung lama, bahkan hingga berbulan-bulan. (baca: Ali Fauzi: Kelompok Abu Sayyaf Biasa Tahan Sandera Lebih dari 6 Bulan)
"Harus ngerti ya, yang lain saja sudah enam bulan belum beres, ada yang delapan bulan belum beres. Malah kemarin ada yang sudah dieksekusi. Tidak segampang itu," ujar Jokowi.
Meski demikian, pemerintah Indonesia tidak kendor memonitor perkembangan 10 WNI itu. Siang dan malam, kata Jokowi, dia memantau terus kondisinya.
Indonesia pun terus berkomunikasi dengan pemerintah Filipina terkait kondisi 10 WNI. (baca: Cerita Royke Saat Kapalnya Dibajak Kelompok Abu Sayyaf)
"Tapi Insya Allah segera kami selesaikan," ujar Presiden.
Kelompok militan Abu Sayyaf sebelumnya memenggal seorang pengusaha Kanada yang mereka sandera setelah batas waktu pembayaran uang tebusan dilampaui.
John Risdel (68), seorang konsultan pertambangan, tinggal di Filipina dan diculik bersama tiga orang lainya di Mindanao pada September tahun lalu.
Sebuah kepala manusia ditemukan di sebuah pulau terpencil beberapa jam setelah tenggat waktu pembayaran yang ditetapkan Abu Sayyaf terlampaui.
(baca: Sejak Akhir Pekan Lalu, Militer Filipina Tewaskan 25 Anggota Abu Sayyaf)
Namun, militer Filipina belum memastikan apakah kepala yang ditemukan itu adalah milik Risdel atau sandera lainnya.
Abu Sayyaf, yang kini menyatakan kesetiaan terhadap Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), menetapkan batas waktu pembayaran uang tebusan pada Senin pukul 15.00.
Kelompok ini meminta tebusan sebesar 4,5 juta poundsterling atau Rp 86 miliar untuk kebebasan Risdel dan dua sandera Barat lainnya, Robert Hall (50), juga warga Kanada dan Kjartan Sekkingstad (56), warga Norwegia.
Nasib seorang sandera lainnya, Tess Flor (48), seorang warga Filipina, belum diketahui.