Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/04/2016, 09:49 WIB
|
EditorSabrina Asril

JAKARTA, KOMPAS.com — Sekitar akhir September 1965, Suparno bersama 1.056 rekan sesama tentara dari batalyon Madiun berangkat ke Jakarta untuk menghadiri peringatan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata.

Sesampainya di Jakarta, Suparno ditempatkan di markas tentara di daerah Kebon Jeruk. Sebagian dari rekannya ditempatkan di asrama.

Tanggal 30 September 1965, batalyon dari Madiun tersebut diberi perintah untuk siaga di lapangan Monumen Nasional.

Suparno mengaku tidak tahu pasti kenapa diberi perintah seperti itu. Mereka hanya duduk santai sambil menunggu perintah. Kemudian tersiar kabar dari Radio Republik Indonesia mengenai peristiwa penculikan beberapa jenderal oleh pasukan tak dikenal.

Suparno dan rekannya masih berada di Monas dan tidak memberikan respons apa-apa. Sekitar pukul 11.00 WIB, Suparno mendapat perintah evakuasi ke markas Komando Strategi Angkatan Darat.

"Antara pukul 11-1 siang ada perintah kami dievakuasi ke markas Kostrad. Kami bersenjata lengkap. Anehnya, perintah itu kan upacara hari ulang tahun, tapi kenapa kami harus di posisi garis depan. Berarti kami harus siaga satu siap tempur. Itu anehnya. Perintah itu dari Pangkostrad, yang diterima batalyon saya, Kapten Sukardi," ujar Suparno saat ditemui di sela acara "Simposium Membedah Tragedi 1965" di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4/2016).

Sampai di aula Kostrad, mereka ditemui oleh Basuki Rahmat dan Soeharto dengan membawa tongkat komando.

(Baca: Asvi Warman: Presiden Harus Minta Maaf atas Kasus Pasca-1965)

Menurut penuturan Suparno, Basuki Rahmat hanya memberikan amanat, "Anak-anakku sekalian, kalian tidak salah. Kalian tidak tahu apa-apa."

Tanggal 1 Desember 1965, Suparno mendapat cuti dan pulang ke Madiun. Keesokan harinya, Suparno tiba di rumah dan bertemu dengan istrinya. Karena persediaan beras sudah mulai menipis, Suparno memutuskan untuk memgambil jatah beras di markas batalyon.

Namun, sepulangnya dari sana, Suparno dicegat dan ditodong senjata laras panjang oleh beberapa tentara. Mereka memaksa Suparno untuk ikut dengan mereka. Suparno menurut dan satu regu tentara itu membawanya ke markas Denpom Madiun.

"Saya ikuti, naik ke jip. Lalu saya dibelokkan ke Denpom CPM polisi militer. Setelah diturunkan, lalu ditinggal begitu saja. Saya menunggu panggilan dari dalam, dari CPM itu," tutur Suparno.

Kira-kira pukul 12.00, Suparno diperiksa. Pistol, pisau, baret, dan baju seragam Suparno dilucuti. Ia diperiksa hingga pukul 19.00 WIB.

Dalam pemeriksaan itu, dia ditanya mengenai keadaan Jakarta dan diberi 25 poin pertanyaan. Pada poin ke 25, kata Suparno, berisi tuduhan yang mengatakan bahwa dirinya berniat menyerang seorang perwira Angkatan Darat berpangkat letnan satu dengan maksud untuk menggantikan posisinya.

(Baca: Todung: Pemerintah Jokowi Harus Berani Buka Kebenaran Peristiwa 1965)

Selain itu, dia pun dituduh terlibat dalam peristiwa G-30-S karena sekitar tanggal tersebut Suparno beserta batalyonnya sedang berada di Jakarta. Berdasarkan dugaan itu, Suparno ditahan selama lima tahun dan tidak pernah diadili.

"Kenapa saya dikorbankan seperti ini? Saya ditahan selama lima tahun tanpa diproses hukum. Saya cuma diperiksa sekali di Denpom Madiun. Lagi pula saya hanya kopral, untuk apa mencoba membunuh seorang perwira letnan satu," ungkap Suparno.

Pada usia yang semakin tua, Suparno mengaku tidak pernah mengetahui alasan pasti kenapa ia ditangkap dan dipecat dari kesatuannya. Dia dituduh membunuh dan diduga terlibat dalam peristiwa G-30-S, tetapi tidak pernah dibuktikan melalui proses pengadilan.

(Baca: Soal Peristiwa 1965, Sintong Tantang Buktikan jika Korban di Jateng 100.000 Orang)

Setelah keluar dari tahanan pun dia masih harus hidup di bawah pengawasan pihak keamanan. Istrinya meminta cerai dan membawa dua anaknya pergi karena merasa Suparno tidak lagi bisa menanggung hidup mereka.

Kini yang ingin dituntut Suparno hanyalah keadilan. Dia ingin hak-haknya sebagai warga negara dipulihkan.

"Kenapa saya tidak diadili sehingga saya tahu betul apa salah saya ditahan sampai lima tahun? Ini yang kami perjuangkan untuk menuntut hak-hak kami sebagai manusia. Tidak pernah diadili, langsung dipenjara karena diduga terlibat G-30-S PKI," tutur Suparno.

Kompas TV Tragedi 65, Luhut: Tak Terpikir untuk Minta Maaf
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+


Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.

Terkini Lainnya

Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye

Penjelasan KPU soal Dihapusnya Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye

Nasional
BMKG Peringkatkan Ancaman El Nino di Indonesia Mulai Juni 2023

BMKG Peringkatkan Ancaman El Nino di Indonesia Mulai Juni 2023

Nasional
Ketika Jokowi dan Megawati Tunjukkan Kekompakan Dukung Ganjar di Rakernas PDI-P...

Ketika Jokowi dan Megawati Tunjukkan Kekompakan Dukung Ganjar di Rakernas PDI-P...

Nasional
Kapan PK Moeldoko soal Kepengurusan Partai Demokrat Diadili? Ini Penjelasan MA

Kapan PK Moeldoko soal Kepengurusan Partai Demokrat Diadili? Ini Penjelasan MA

Nasional
Lukas Enembe Jalani Sidang Perdana Kasus Suap dan Gratifikasi Senin 12 Juni

Lukas Enembe Jalani Sidang Perdana Kasus Suap dan Gratifikasi Senin 12 Juni

Nasional
Aldi Taher dan Alienasi Politik

Aldi Taher dan Alienasi Politik

Nasional
AHY Jadi Kandidat Cawapres Ganjar, PKS: Pemimpin Berkualitas dan Punya Nilai Jual

AHY Jadi Kandidat Cawapres Ganjar, PKS: Pemimpin Berkualitas dan Punya Nilai Jual

Nasional
Geopolitik ASEAN Menjadi Kawasan Damai dan Sejahtera

Geopolitik ASEAN Menjadi Kawasan Damai dan Sejahtera

Nasional
Elektabilitas Anies Terus Turun hingga Buat Demokrat Gelisah, Benarkah?

Elektabilitas Anies Terus Turun hingga Buat Demokrat Gelisah, Benarkah?

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jabat Tangan Jokowi dan Ganjar | Beda Suara di Koalisi Anies soal Deklarasi Cawapres

[POPULER NASIONAL] Jabat Tangan Jokowi dan Ganjar | Beda Suara di Koalisi Anies soal Deklarasi Cawapres

Nasional
Tanggal 9 Juni Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Juni Memperingati Hari Apa?

Nasional
Soal PAN 'Ngotot' Usung Erick Thohir Jadi Cawapres, Pengamat: Ada Hubungan Spesial

Soal PAN "Ngotot" Usung Erick Thohir Jadi Cawapres, Pengamat: Ada Hubungan Spesial

Nasional
Bappenas Sebut Presiden Tak Bisa Serta-merta Disalahkan bila Target Pembangunan Nasional Tak Tercapai

Bappenas Sebut Presiden Tak Bisa Serta-merta Disalahkan bila Target Pembangunan Nasional Tak Tercapai

Nasional
PDI-P Tepis Jokowi Dukung Prabowo untuk Pilpres 2024

PDI-P Tepis Jokowi Dukung Prabowo untuk Pilpres 2024

Nasional
Kompolnas Minta Komandan yang Diduga Minta Setoran ke Bripka Andry Diperiksa

Kompolnas Minta Komandan yang Diduga Minta Setoran ke Bripka Andry Diperiksa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com