JAKARTA, KOMPAS.com - Muktamar Islah Partai Persatuan Pembangunan sudah digelar di Asrama Haji, Pondok Gede, Jakarta, 8-10 April 2016 lalu.
Acara tersebut diikuti oleh pengurus PPP hasil Muktamar Surabaya yang dipimpin Muhammad Romahurmuziy dan sebagian pengurus PPP Muktamar Jakarta yang dipimpin Djan Faridz.
Namun Djan Faridz dan sejumlah loyalisnya, seperti Dimyati Natakusuma dan Humphrey Djemat, enggan mengakui dan ambil bagian dalam Muktamar Islah yang memilih Romahurmuziy sebagai ketua umum.
Alhasil, konflik PPP pun kini justru semakin melebar.
Langkah Djan Faridz
Pada Kamis (14/4/2016), Djan bersama kuasa hukum dan loyalisnya hadir dalam sidang perdana uji materi (judicial review) yang diajukan oleh tiga orang pengurus PPP ke Mahkamah Konstitusi.
Ketiganya meminta MK untuk menafsirkan Pasal 33 ayat 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Pasal itu menyatakan bahwa perselisihan partai politik diselesaikan melalui pengadilan negeri tingkat satu dan upaya hukumnya kasasi.
"Karena ada fakta bahwa walaupun sudah ada putusan kasasi yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk PPP muktamar Jakarta, tapi ternyata sampai detik ini tidak diberikan pengesahan juga oleh Menkumham," ujar Kuasa Hukum Djan Faridz, Humphrey Djemat.
(Baca: Tak Kunjung Disahkan Menkumham, Djan Faridz Cari Keadilan ke MK)
Dengan tidak adanya pengesahan dari Menkumham, sebut Humphrey, maka MK perlu membuat frasa yang jelas dalam pasal 33 ayat dua itu.
Kubu Djan menginginkan agar MK memberikan tafsir yang pasti, sehingga pemerintah wajib mengikuti keputusan MA yang berkekuatan hukum tetap.
Usai menghadiri sidang, Djan Faridz, menegaskan dirinya akan terus memperjuangkan kebenaran dan haknya atas kepengurusan PPP melalui berbagai jalur.
Selain menempuh jalur hukum di Indonesia, tim kuasa hukumnya sudah menyiapkan dokumen yang diperlukan untuk dibawa ke Mahkamah Internasional di Den Haag dan juga Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
"Lawyer saya sudah menyiapkan untuk ke Den Haag untuk mendapatkan harapan di PBB," ujar Djan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (14/4/2016).
"Kami akan bawa ke OKI. Harapan kita ini bahwa partai Islam supaya diberikan harapan," ujarnya.
(Baca: Djan Faridz Akan Bawa Masalah PPP ke PBB dan OKI)
Sebelumnya, Djan juga sudah menggugat Presiden Joko Widodo, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menkumham Yasonna H Laoly ke PN Jakarta Pusat.
Pemerintah dianggap telah melanggar hukum lantaran tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung Nomor 601 Tahun 2015. (Baca: Ini Alasan PPP Kubu Djan Faridz Tuntut Jokowi Ganti Rugi Rp 1 Triliun)
Djan mengaku akan mencabut gugatan tersebut apabila pemerintah mengesahkan kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta sesuai dengan putusan MA dan UU Partai Politik.
Salah Sasaran
Anggota Komite Pengarah Muktamar VIII PPP Arsul Sani menilai rencana Djan Faridz membawa masalah kepengurusan PPP dan OKI salah sasaran.
Arsul meyakini PBB akan menolak. Ini disebabkan kepengurusan PPP bukan persoalan pelanggaran HAM berat atau kejahatan kemanusiaan yang menjadi yurisdiksi International Court of Justice (ICJ) di Den Haag.
Sementara OKI, lanjut dia, bukan lembaga pengadilan, tapi organisasi yang perhatian utamanya adalah isu politik yang menyangkut kepentingan langsung umat Islam, bukan kepentingan segelintir orang yang menjadi pengurus parpol.
"Menurut saya salah kamar," kata Arsul Sani. (Baca: Kubu Romy: Gugatan Djan Faridz ke PBB dan OKI Salah Kamar)
Arsul menghargai hak Djan Faridz sebagai warga negara untuk melakukan langkah hukum. Namun dia menyarankan Djan Faridz bergabung saja dengan kepengurusan hasil Muktamar Islah PPP.
Saling tawarkan jabatan
Meski Djan Faridz terus melakukan upaya perlawanan, lanjut Arsul, pihaknya masih terus konsisten mengajak Djan Faridz bergabung.
Djan Faridz akan diberi jabatan apa pun selain ketua umum yang saat ini sudah ditempati Romy.
Formatur PPP hasil Muktamar Islah hingga saat ini masih terus menyusun kepengurusan yang ideal.
"Pak Romy sudah menyampaikan jabatan apa saja, kan yang baru terisi ketua umum. Jadi mau waketum, sekjen, ketua majelis pertimbangan atau ketua majelis pakar, silakan," kata Arsul.
Sebaliknya, Djan Faridz juga mengaku akan tetap mempertahankan sikapnya untuk menawarkan Romy jabatan yang terhormat di partai.
Ia mengaku telah berkali-kali mengutus rekannya kepada Romy untuk menyampaikan penawaran bergabung dengan kepengurusan PPP Muktamar Jakarta.
"Kami tawarkan beliau jabatan yang terhormat. Kalau perlu setiap beliau ketemu saya, saya cium tangan sama beliau. Kurang terhormat apa?" ujarnya.
Tanggapan Menkumham
Ada pun Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly sebelumnya mengakui, dia tidak bisa menjalankan putusan Mahkamah Agung yang memenangkan kepengurusan PPP kubu Djan Faridz.
Yasonna beralasan, penyelesaian dualisme di PPP sebaiknya tidak diselesaikan melalui langkah hukum.
"Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan hukum. Akan lebih baik masalah itu diselesaikan dengan kesepakatan. Ini bukan permasalahan perkara publik, ini perkara perdata. Perkara perdata itu yang paling pokok adalah perdamaian," kata Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/4/2016).
Selain itu, Menkumham juga mengaku, masih ada sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi oleh kubu Djan Faridz. Namun, dia tidak menyebutkan syarat-syarat yang dimaksud.