Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bayu Galih

Jurnalis; Pemerhati media baru; Penikmat sinema

Film "Room", Langkah Awal Memahami Logika "Haters/Lovers"

Kompas.com - 09/04/2016, 07:51 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Disekap dalam sebuah tempat yang dikenalnya sebagai "room" membuat Jack kecil mengenal dunia sebatas ruang sempit yang ditempati sepanjang hari.

Realitas, bagi bocah berusia 5 tahun itu, terbatas apa yang pernah ditemuinya dalam kamar berukuran tak lebih dari 20 meter persegi: Seorang ibu yang dipanggil "Ma", ranjang kecil, dapur, toilet, serta binatang kecil dan tanaman yang bisa hidup meski minim air dan sinar matahari.

"Tanaman itu nyata, tapi pohon tidak. Laba-laba nyata, pun nyamuk yang pernah menghisap darahku," tutur Jack Newsome, karakter dalam film Room (2015) yang diperankan apik oleh Jacob Trembley.

Jack dan ibunya, Joy Newsome (diperankan Brie Larson), memang dikurung dalam sebuah ruangan oleh Old Nick. Pria itu menyekap Joy selama tujuh tahun terakhir, bahkan memperkosanya, yang kemudian melahirkan Jack.

Selain empat tembok yang mengelilingi "room", pengetahuan Jack mengenai dunia luar didapatnya dari penuturan Ma, atau dari televisi yang sengaja ditinggalkan Old Nick.

Atap "room" juga disertai kaca tembus pandang ke langit, yang membuat Jack dan Ma mengetahui kondisi luar, termasuk siang dan malam, juga hujan.

Tentunya, cerita mengenai bermacam hal di luar "room", hanya didapat Jack dari lisan Ma.

"Ada room, kemudian luar angkasa, dengan semua planet seperti yang ditampilkan TV, lalu ada surga," demikian konsep tentang dunia dalam penuturan Jack.

"Tapi tupai dan anjing hanya ada di TV, kecuali Lucky. Dia adalah anjingku yang akan datang suatu hari nanti. Monster terlalu besar untuk menjadi nyata, begitu juga laut," lanjutnya.

Gua Plato

Hingar-bingar Room mungkin telah pudar setelah Brie Larson terpilih sebagai aktris terbaik di Academy Awards 2016.

Namun, Room layak untuk terus dikenang sebagai karya sinema yang sukses menyajikan visualisasi pemikiran Plato mengenai realitas: Perumpamaan Gua Plato. 

Dalam Politeia (di Indonesia terbit dengan judul Republik), Plato bercerita mengenai persepsi dan realitas yang ditangkap manusia.

Plato berkisah mengenai sejumlah orang yang dirantai dan dihadapkan pada sebuah tembok di dalam gua.

Para tahanan itu membelakangi cahaya dari api unggun, sehingga bayangan yang dipantulkan terproyeksi pada tembok di hadapan mereka. Mereka hanya mengenal realitas sebatas bayangan yang dihasilkan.

Ada yang pasrah dan menerima bahwa bayangan yang ditampilkan itu sebagai realitas. Padahal itu persepsi semata.

Ada juga yang tidak puas, hingga pada akhirnya ada salah satu tahanan yang "bebas" dan melihat bahwa persepsi yang ditampilkan itu berbeda dengan realitas.

Kebebasan itu sayangnya tidak dapat dinikmati secara nyaman. Realitas ternyata serupa sumber cahaya yang memproyeksikan bayangan: menyilaukan.

Bisa jadi, alasan itu juga yang membuat Ma takut menanamkan ke benak Jack kecil bahwa dunia sebenarnya menyajikan hal yang lebih luas, lebih nyata, lebih beragam, dari sekedar yang didapatnya di "room".

Mungkin juga ada kekhawatiran Ma bahwa Jack menginginkan adanya realitas yang tidak akan pernah dilihatnya secara langsung, meskipun sekedar ingin melihat tupai dan anjing.

Realitas, sepertinya dianggap sama seperti harapan. Keduanya menyakitkan.

Lovers/Haters dalam politik

Film Room, juga konsep Gua Plato, menjadi pengantar bagi kita dalam memahami fenomena "lovers/haters" dalam politik.

Fenomena ini tentu bukan hal yang baru. Namun, media sosial menjadikan fenomena lovers/haters itu dengan mudahnya menyelinap masuk ke dalam ruang privasi kita.

Kini, tiap orang dapat dengan mudah menulis kecintaan kepada seorang politisi di linimasa masing-masing. Pun kebenciannya.

Sekali atau dua kali mungkin tidak masalah. Namun, post yang berkali-kali tentang cinta/benci itu mulai terasa menghadirkan infiltrasi yang tidak diinginkan di ruang privasi kita.

Bagi kita yang tidak ingin terjebak dalam pusaran lovers/haters di media sosial tentu dapat dengan mudah untuk unfollow, bahkan hingga deactivate akun. Tapi bagaimana pun, itu tidak menghentikan derasnya arus lovers/haters di dunia maya.

Sebab, algoritma seperti yang dibuat Facebook makin berperan dalam membangun tembok-tembok virtual, yang membentuk "room" penghasil lovers/haters.

Perilaku pencarian yang disediakan Google pun berperan membatasi pengetahuan kita di era digital yang semestinya tidak terbatas.

Aktivis internet Eli Pariser menyebut proses terbentuknya "room" di ranah digital itu dengan sebutan "filter bubble". 

Penjelasannya bisa seperti ini: Kawan saya seorang penggemar Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Kekaguman kepada pria yang akrab disapa Ahok itu menjadikan kawan saya sering men-share bermacam post positif, baik itu prestasi atau berita tentang pujian orang terhadap Ahok.

Kawan saya itu juga sering me-like atau beri komentar jika ada post positif tentang Ahok.

Kebiasaan ini menyebabkan aliran yang muncul di linimasa dia adalah hal-hal yang serupa: Bermacam puja-puji terhadap Ahok.

Di sinilah proses filter bubble terbentuk, saat post negatif mengenai Ahok difilter agar tak muncul di linimasanya.

Namun, algoritma Facebook tentu bisa salah membaca. Ini menyebabkan post satire tentang Ahok muncul di linimasa kawan saya itu sewaktu-waktu, karena dianggap algoritma Facebook berisi hal positif.

Kawan saya yang terbiasa membaca post positif tentang Ahok kemudian meradang saat baca hal negatif itu.

Dia pun memberikan komentar membela Ahok, malahan sering juga menyerang orang yang menulis post negatif tentang Ahok itu dalam komentar.

Hal yang sama pun berlaku sebaliknya. Teman saya yang tidak suka kepada Ahok, semakin tidak suka kepada Ahok karena filter bubble. Bermacam post negatif yang sering menyudutkan Ahok muncul di linimasanya.

Nah, ketika benih benci atau cinta yang berlebih itu tumbuh, biasanya mereka hanya mencari berita yang memperkuat argumen masing-masing.

Jadi jangan heran jika Ahok-lovers akan mem-post chirpstory (kumpulan tweet) yang membela Ahok soal kebijakan reklamasi, misalnya.

Begitu juga sebaliknya, Ahok-haters akan terus mem-post bermacam berita di media yang mengkritik kebijakan reklamasi.

Perilaku itu semakin mempertebal gelembung filter di dunia maya, yang membatasi kita mendapatkan jutaan informasi lain yang dihadirkan internet.

Semakin aktif kita bertahan dalam satu sudut pandang saja, maka tembok yang kita bangun akan semakin tebal. "Room" yang kita miliki tentu semakin sempit.  

Sama seperti Jack, kita hanya memahami realitas berdasarkan apa yang kita temui. Lebih parah dari itu, yang kita temui pun terbentuk hanya yang berdasarkan kita percaya atau sekedar kita suka.

Pikiran kita memang dapat menghadirkan penjara bagi ruang gerak kita. Membiarkannya terbuka tentu membuat kita akan lebih merasa lapang, lepas, lega.

Membuat pikiran sedikit terbuka juga bukan proses mudah. Terkadang kita memang ingin percaya bahwa kebaikan itu melekat kepada satu entitas.

Saat memahami pada entitas itu ada suatu kekurangan, jika tak ingin disebut keburukan, di saat itulah rasa tidak nyaman terasa. Saat itulah ketakutan kita muncul.

Saat kita terbiasa dicekoki persepsi, realitas memang bisa menjadi momok menakutkan. Apa lagi pencarian akan kebenaran.

Hal yang sama pun dirasakan Jack ketika akhirnya terbebas dari kurungan "room".

"Ada begitu banyak hal di luar sana. Dan terkadang itu memang menakutkan. Tapi tidak apa-apa, karena bagaimana pun (realitas) itu hanya ada (tentang) kamu dan aku..."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus Jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Gerindra Ungkap Ajakan Prabowo Buat Membangun Bangsa, Bukan Ramai-ramai Masuk Pemerintahan

Nasional
PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

PKB Terima Pendaftaran Bakal Calon Kepala Daerah Kalimantan, Salah Satunya Isran Noor

Nasional
ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

ICW Sebut Alasan Nurul Ghufron Absen di Sidang Etik Dewas KPK Tak Bisa Diterima

Nasional
Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasdem Kaji Duet Anies-Sahroni di Pilkada Jakarta

Nasional
PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

PDI-P Tuding KPU Gelembungkan Perolehan Suara PAN di Dapil Kalsel II

Nasional
Demokrat Tak Ingin Ada 'Musuh dalam Selimut' di Periode Prabowo-Gibran

Demokrat Tak Ingin Ada "Musuh dalam Selimut" di Periode Prabowo-Gibran

Nasional
Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Maju di Pilkada Jakarta atau Jabar, Ridwan Kamil: 1-2 Bulan Lagi Kepastiannya

Nasional
Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Demokrat Harap Tak Semua Parpol Merapat ke Prabowo Supaya Ada Oposisi

Nasional
Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Bingung dengan Objek Gugatan PDI-P di PTUN, KPU Belum Tahu Mau Jawab Apa

Nasional
Gugat Dewas ke PTUN hingga 'Judicial Review' ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Gugat Dewas ke PTUN hingga "Judicial Review" ke MA, Wakil Ketua KPK: Bukan Perlawanan, tapi Bela Diri

Nasional
Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Sengketa Pileg, PPP Klaim Suara Pindah ke Partai Lain di 35 Dapil

Nasional
Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Pemerintah Akan Bangun Sekolah Aman Bencana di Tiga Lokasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com