Suasananya lebih besar dan bergeser ke panggung politik. Protes negara asal terpidana mati sangat kuat. Bahkan Brasil membalasnya dengan sangat keras, dengan cara tidak mau menerima dan melantik Dubes Indonesia untuk Brasil, padahal sudah diundang ke istana kepresidenan Brasil. Targetnya agar warga negaranya tidak jadi dieksekusi. Nyatanya, tetap didor, dan mati.
Harian Kompas (7/4) melaporkan bahwa sepanjang tahun 2015 lalu ada 14 terpidana mati yang dieksekusi di Indonesia. Itu artinya setidaknya ada 14 teledrama dengan pernak-perniknya sendiri-sendiri.
10 tahun era SBY memerintah juga melakukan eksekusi mati dengan selektif dan tenang sambil tetap mempertimbangkan hubungan baik dengan negara negara asal terpidana mati itu. Sebab, Indonesia juga termasuk negara yang selalu memperjuangkan warga negaranya yang divonis hukuman mati di beberapa negara.
Timbal balik kepentingan. International relationship itu juga penting. Karena kita hidup berdampingan secara damai sesama bangsa bangsa berdaulat. Kita tak bisa hidup sendirian di era globalisasi.
RUU KUHP vs Pidana Mati
Sistem hukum pidana kita masih mempertahankan pidana mati sejak sebelum kemerdekaan. Indonesia melakoninya dari waktu ke waktu sembari berupaya mencari jalan keluar terbaik, terlebih dari perspektif perlindungan hak asasi manusia.
Bang Todung Mulya Lubis adalah salah satu saja pegiat hak asasi manusia yang tidak setuju hukuman mati dan memintanya dihapus. Ia dan sahabat-sahabatnya terus berjuang. Terus berkampanye. Tanpa henti.
Jika memilih tak setuju hukuman mati karena urusan nyawa manusia bukan domain sesama manusia tetapi kewenangan mutlak sang pencipta manusia itu sendiri, maka pilihannya adalah segera menghapus pidana mati dalam sistem hukum kita.
Saat ini RUU KUHP, yang sudah disiapkan sejak puluhan tahun lalu sudah dalam rumah rakyat dan menjadi pekerjaan parlemen kita. Pertanyaannya akankah parlemen dan pemerintah mengambil sikap menghapus pidana mati dalam sistem hukum kita ? Tentu, Presiden Joko Widodo dapat memainkan peran yang vital mewujudkannya.
Persis aku selesai mengetikkan kalimat terakhir, nada dering HP ku bergetar. Ada message yang masuk. "Selain urusan calon gubernur Papua Barat, bang Sekjend juga lantik ribuan PAC PAC PD se Sorong Raya", kata bung Michael Watamena, legislator DPR RI dari dapil Papua Barat, politisi Partai Demokrat, Wakil Ketua Komisi V DPR RI.
"Ya, jangan lupa kita juga bicara soal RUU Otonomi Khusus plus ya. Itu salah satu cara terbaik merawat dan memajukan kesejahteraan umum di Papua," kata ku membalas, sambil menutup laman CNN dan Amnesty Internasional.
"Semoga Presiden Jokowi mengambil putusan memastikan Indonesia menjadi negara ke-103 dalam jajaran negara-negara di dunia yang sudah hapus pidana mati," harapku dalam hati.
Kalaupun belum sekarang, setidaknya Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung dan jajarannya tidak berdramaturgis di media dan di depan publik tentang ini dan itu, tentang warna warni proses ritual eksekusi mati. Lakukan dengan tenang tanpa gaduh, sehingga tidak menimbulkan kecemasan berlebihan di masyarakat.
Sekali lagi aku berhap dalam hati sambil menarik napas panjang.
#salamnonangnonang
@horasIndonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.