Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hinca IP Pandjaitan XIII
Politikus

Politikus, sekretaris jenderal Partai Demokrat. Menulis untuk menyebarkan kebaikan, menabur optimisme sebagai bagian dari pendidikan politik bagi anak bangsa dalam kolom yang diberi judul: NONANGNONANG. Dalam budaya Batak berarti cerita ringan dan bersahaja tetapi penting bercirikan kearifan lokal. Horas Indonesia.

Hukuman Mati, Akankah Berakhir?

Kompas.com - 08/04/2016, 16:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata

Ketika M Rivai Darus, Wakil Sekjend Partai Demokrat yang juga Ketua KNPI mengirimkan pesan pendek lewat WA, saya sedang membaca laporan Amnesty International.

"Bang Sekjend, kerja politik kita di Papua Barat sudah siap. Sabtu Sekjend dampingi panitia pencalonan penjaringan menerima pendaftaran bakal calon Gubernur Papua Barat," katanya.

"Ok, bung Ulil juga ikut ya,"kataku membalas sambil terus melanjutkan ketertarikan ku membaca laporan Amnesty International.

Amnesty International, lembaga nirlaba pegiat hak asasi manusia, yang bermarkas di London, beranggotakan lebih dari 7 juta anggota dan sudah berdiri sejak Juli 1961 terus berjuang keras mengkampanyekan penghapusan hukuman mati di muka bumi.

Salah satu cara mereka adalah membuat laporan tahunan data dan angka eksekusi hukuman mati di setiap negara. Tujuannya satu saja, mengetuk hati petinggi negara menghapus hukuman mati dari sistem hukum yang ada.

Juliet Perry, jurnalis CNN, pagi 7 April 2016, dari London, mengutip Amnesty International, melaporkan bahwa tahun 2015 merupakan tahun eksekusi mati tertinggi selama 25 tahun terakhir.

"AMNESTY report: Executions at their highest level ini 25 years", begitulah headline laporan CNN mengejutkan dunia. Tentu termasuk saya. Saya yakin anda juga.

Amnesty International menyebutkan, "2.634 orang dihukum mati tahun 2015, meningkat  50% dibanding 2014. Hampir 90% eksekusi ini dilaksanakan di Iran, Pakistan dan Arab Saudi. Jumlah ini kemungkinan bisa jauh lebih tinggi mengingat China tidak menyebutkan jumlah hukuman mati di sana.”

"Wah, tiga negara menjadi paling disorot, minus Tiongkok karena belum dapat datanya," aku merenung dalam hati, sambil cemas juga untung negeriku bukan termasuk papan atas laporan itu.

Di Iran, 977 orang dieksekusi mati karena kasus narkoba, 320 orang di Pakistan dan 158 di Arab Saudi juga akhiri hidupnya karena dieksekusi oleh sesama manusia atas nama hukum.

20.292 Menunggu Eksekusi

Perry menggambarkan kegundahan hati Salil Shetty, Sekjend Amnesty International, karena saat ini di seluruh dunia ada 20.292 terpidana mati yang menunggu eksekusi di beberapa negara. Sekalipun demikian Salil digambarkan sedikit senang karena kampanyenya mendorong negara-negara menghapus hukuman mati dalam sistem hukumnya yang dilakukannya tanpa henti mulai berbuah baik.

"Saat ini sudah 102 negara, setelah tahun 2015 negara Fiji, Mandagaskar, Republik Kongo dan Suriname menghapuskan hukuman mati di negerinya" kata Salil dikutip Juliet Perry.

Bagaimana Indonesia? Eksekusi mati di Indonesia barangkali termasuk yang paling heboh. Khususnya tahun 2015. Dengan alasan agar dipuji pubik berani mengeksekusi terpidana mati, maka ruang publik disuguhi teledrama proses eksekusi. Dibuatkan story board layaknya super show di layar kaca dibungkus dengan puncak emosi, "breaking news".

Publik terpecah dan hiru biru menunggu harap-harap cemas eksekusi mati itu. Jurnalis berduyun-duyun membututinya. Ruang media kita dijejali cerita ritual eksekusinya yang lebih dasyat ketimbang substansi kasusnya.

Suasananya lebih besar dan bergeser ke panggung politik. Protes negara asal terpidana mati sangat kuat. Bahkan Brasil membalasnya dengan sangat keras, dengan cara tidak mau menerima dan melantik Dubes Indonesia untuk Brasil, padahal sudah diundang ke istana kepresidenan Brasil. Targetnya agar warga negaranya tidak jadi dieksekusi. Nyatanya, tetap didor, dan mati.

Harian Kompas (7/4) melaporkan bahwa sepanjang tahun  2015 lalu ada 14 terpidana mati yang dieksekusi di Indonesia. Itu artinya setidaknya ada 14 teledrama dengan pernak-perniknya sendiri-sendiri.

10 tahun era SBY memerintah juga melakukan eksekusi mati dengan selektif dan tenang sambil tetap mempertimbangkan hubungan baik dengan negara negara asal terpidana mati itu. Sebab, Indonesia juga termasuk negara yang selalu memperjuangkan warga negaranya yang divonis hukuman mati di beberapa negara.

 Timbal balik kepentingan. International relationship itu juga penting. Karena kita hidup berdampingan secara damai sesama bangsa bangsa berdaulat. Kita tak bisa hidup sendirian di era globalisasi.

RUU KUHP vs Pidana Mati

Sistem hukum pidana kita masih mempertahankan pidana mati sejak sebelum kemerdekaan. Indonesia melakoninya dari waktu ke waktu sembari berupaya mencari jalan keluar terbaik, terlebih dari perspektif perlindungan hak asasi manusia.

Bang Todung Mulya Lubis adalah salah satu saja pegiat hak asasi manusia yang tidak setuju hukuman mati dan memintanya dihapus. Ia dan sahabat-sahabatnya terus berjuang. Terus berkampanye. Tanpa henti.

Jika  memilih tak setuju hukuman mati karena urusan nyawa manusia bukan domain sesama manusia tetapi kewenangan mutlak sang pencipta manusia itu sendiri, maka pilihannya adalah segera menghapus pidana mati dalam sistem hukum kita.

Saat ini RUU KUHP, yang sudah disiapkan sejak puluhan tahun lalu sudah dalam rumah rakyat dan menjadi pekerjaan parlemen kita. Pertanyaannya akankah parlemen dan pemerintah mengambil sikap menghapus pidana mati dalam sistem hukum kita ? Tentu, Presiden Joko Widodo dapat memainkan peran yang vital mewujudkannya.

Persis aku selesai mengetikkan kalimat terakhir, nada dering HP ku bergetar. Ada message yang masuk. "Selain urusan calon gubernur Papua Barat, bang Sekjend juga lantik ribuan PAC PAC PD se Sorong Raya", kata bung Michael Watamena, legislator DPR RI dari dapil Papua Barat, politisi Partai Demokrat, Wakil Ketua Komisi V DPR RI.

"Ya, jangan lupa kita juga bicara soal RUU Otonomi Khusus plus ya. Itu salah satu cara terbaik merawat dan memajukan kesejahteraan umum di Papua," kata ku membalas, sambil menutup laman CNN dan Amnesty Internasional.

"Semoga Presiden Jokowi mengambil putusan memastikan Indonesia menjadi negara ke-103 dalam jajaran negara-negara di dunia yang sudah hapus pidana mati," harapku dalam hati.

Kalaupun belum sekarang, setidaknya Presiden Joko Widodo memerintahkan Jaksa Agung dan jajarannya tidak berdramaturgis di media dan di depan publik tentang ini dan itu, tentang warna warni proses ritual eksekusi mati. Lakukan dengan tenang tanpa gaduh, sehingga tidak menimbulkan kecemasan berlebihan di masyarakat.

Sekali lagi aku berhap dalam hati sambil menarik napas panjang.

#salamnonangnonang

@horasIndonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

Jelang Hari Jadi Ke-731, Pemkot Surabaya Gelar Berbagai Atraksi Spektakuler

BrandzView
Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Resmi Ditahan, Gus Muhdlor Punya Harta Rp 4,7 Miliar

Nasional
KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

KPK Sebut Gus Muhdlor Terima Uang Korupsi Lewat Sopirnya

Nasional
Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Polri Tangkap 142 Tersangka hingga Blokir 2.862 Situs Judi Online

Nasional
Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Cuaca di Arab Sangat Panas, Ma'ruf Amin: Jangan Sampai Jemaah Haji Meninggal Kepanasan

Nasional
Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Prabowo Diminta Hindari Kepentingan Bagi-bagi Kursi, Jika Tambah Jumlah Kementerian

Nasional
Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Ada Wacana Duet dengan Ahok di Pilkada DKI, Anies: Memutuskan Saja Belum

Nasional
Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Anies Ingin Memastikan Pilkada Berjalan Jujur dan Bebas Intervensi Sebelum Tentukan Langkah

Nasional
Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Kegiatan Ibadah Mahasiswa di Tangsel Dibubarkan Warga, Menko Polhukam Minta Saling Menghormati

Nasional
JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com