"Quo usque tandem abutere, Catalina, patientia nostra? (Sampai kapan wahai Catalina, engkau akan terus menyalahgunakan kesabaran kami?)
Di hadapan sekitar 600 senator Republik Roma pada pengujung tahun 63 SM, Marcus Tullius Cicero dengan berapi-api menggunakan pertanyaan retorik tersebut untuk membuka orasinya yang memukau.
Cicero, seorang orator, filsuf, dan politisi ternama Romawi, mengutuk konspirasi Catalina, politisi korup yang demi kepentingan pribadinya berniat menggulingkan Republik Romawi.
Pada saat itu, Cicero (106-43 SM) dengan detail "menelanjangi" plot pemberontakan Catalina, lantas meminta senat menjatuhi hukuman mati bagi Catalina.
Bagi sebagian orang, Catalina dianggap revolusioner karena membawa gagasan revolusi pertanahan.
Namun, bagi Cicero, Catalina merupakan politisi putus asa dan kontroversial yang berkali-kali menguji kesabaran publik Romawi lewat laku kriminal.
Beberapa pemerhati sejarah menjelaskan tindakan Catalina itu sebagai akibat ia terjerumus kubangan utang gara-gara dua kali kalah dalam pemilihan konsul, jabatan politik tertinggi di Romawi.
Mary Beard dalam SPQR: A History of Ancient Rome (2015) mencatat, pemilihan jabatan publik di Roma masa itu bisa menjadi sangat mahal.
Supaya terpilih, kandidat keluar uang banyak untuk menunjukkan kemurahan hati mereka kepada rakyat.
Pembusukan politik pada masa-masa akhir Republik Romawi, sebelum dikuasai diktator Julius Caesar, bisa menjadi refleksi atas apa yang terjadi di Indonesia masa kini. Politisi di Indonesia tak jauh dari kontroversi.
Dari media massa, publik bisa menerima informasi soal politisi yang terjerat kasus kekerasan, korupsi, gaya hidup mewah, dan skandal seks. Seperti opera sabun, kisahnya hampir sama dengan aktor yang berbeda.
Keprihatinan terhadap kondisi politik di Indonesia yang masih jauh dari tujuan adiluhung menyejahterakan dan memakmurkan rakyat itu mengemuka pula dari para pembicara diskusi bertema keadaban politik yang menjadi bagian dari peluncuran Sekolah Politisi Muda di Jakarta, Kamis (10/3).
Persoalan yang dibahas dalam diskusi itu juga antara lain tak jauh dari politisi yang tak memikirkan kesejahteraan rakyat hingga korupsi politik para politisi dan partai politik.
Dalam diskusi, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syafii Maarif menyebut politisi di Indonesia masih menjadikan politik sebagai mata pencarian.
Ia pun bertanya-tanya kapan para politisi ini bisa siuman, lantas menerapkan politik beradab. Praktik politik yang tidak memikirkan kepentingan pribadi atau golongan, tetapi semata-mata untuk menyejahterakan rakyat.
Namun, budayawan Radhar Panca Dahana mengungkapkan, ia tak percaya politisi dan partai politik bisa siuman dan lepas dari kartel politik.
"Dari dulu sudah jadi zombie," tutur Radhar.
Kepala Sekolah Politisi Muda, yang juga Wakil Direktur Yayasan Satunama, Yogyakarta, Insan Kamil menyadari ada cara mencapai kekuasaan di kalangan politisi di Indonesia yang diwarnai politik uang.
Berbeda dengan kandidat pada masa Republik Romawi yang berutang, sebagian politisi Indonesia meminta pengusaha mendanai ongkos politik.
Begitu terpilih, politisi tersebut membanjiri pengusaha tersebut dengan izin pertambangan, perkebunan, kehutanan, proyek, sampai pengadaan barang dan jasa.
Lantas apa yang bisa dilakukan? Yayasan Satunama mencoba menggunakan pendekatan aktor lewat pendidikan untuk membentuk politisi yang menjunjung keadaban politik.
Selama setahun terakhir, Sekolah Politisi Muda menggembleng 23 politisi lintas partai dari Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Lampung.
Sebanyak 17 orang dinyatakan lulus. Selama pendidikan, mereka dibekali pemahaman nilai, cara membangun relasi dengan masyarakat ataupun hal-hal teknis seperti marketing politik tanpa politik uang.
"Mudah-mudahan apa yang kami gagas bisa bertahan dalam jangka panjang karena tidak selesai lima tahun untuk membangun keadaban politik. Minimal 15 tahun baru ada hasilnya," kata Insan Kamil.
Selepas pendidikan, Insan juga mengaku ada pendampingan bagi para politisi muda ini untuk menyusun kerangka kerja.
Dengan begitu, diharapkan ada konsistensi dalam diri mereka sehingga para politisi muda ini bisa berperan mengubah sistem. Tidak sebaliknya, mereka yang berubah karena struktur di partai politik.
Tentu saja, upaya ini juga harus diimbangi perubahan struktur yang membuat politisi makin sulit untuk berbuat macam-macam.
Jika pendekatan aktor dan struktur tetap tak mengubah politisi, rakyat Indonesia bisa pula memakai pertanyaan yang dilontarkan Cicero sekitar 2.000 tahun lalu itu kepada para politisi kita, "Sampai kapan wahai politisi, engkau akan menguji kesabaran kami?" (Antony Lee)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.