Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Supersemar Lemahkan Soekarno, Wibawa Pemimpin Besar Revolusi Meredup

Kompas.com - 11/03/2016, 07:22 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa 30 September 1965 bisa dibilang merupakan suatu titik yang menjadi penanda meredupnya kekuasaan Presiden Soekarno.

Peristiwa tersebut tidak hanya menjadi momentum digerusnya kekuatan Partai Komunis Indonesia, yang menjadi "kambing hitam" atas tragedi di akhir September 1965.

G30S juga dimanfaatkan untuk menggerus kekuasaan Soekarno, yang dipandang sudah tidak mampu lagi memimpin Indonesia. Soekarno dianggap bertanggung jawab.

Namun, ini bukan rangkaian yang terbentuk secara mendadak. Pada permulaan tahun 1965, situasi politik, sosial dan ekonomi dalam negeri memang semakin memburuk.

Politik konfrontasi dengan Malaysia, yang dianggap Soekarno sebagai proyek perpanjangan neo-kolonialisme, telah menyebabkan Indonesia semakin keras melancarkan politik anti-nekolim.

Wujud politik anti neo-kolonialisme dan neo-imperialisme ini secara tidak langsung menyebabkan Indonesia memusuhi negara-negara Barat.

Soekarno pun mengeluarkan jargon politik yang mengkritik keras negara Barat, seperti "Berdiri di atas Kaki Sendiri" atau "Go to Hell with Your Aid".

Bahkan, Indonesia memutuskan keluar dari keanggotaan PBB pada 7 Januari 1965, sebagai bentuk protes diterimanya Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Tindakan tersebut dianggap menjadi penyebab hilangnya dukungan dari luar negeri di bidang politik maupun ekonomi.

"Dari segi ekonomi, keadaan pada masa itu memang sangat buruk. Harga membubung tinggi, inflasi ratusan persen," tulis peneliti sejarah LIPI, Asvi Warman Adam dalam buku berjudul Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?

"Bahkan Presiden Soekarno harus menunjuk seorang menteri penurunan harga, Hadely Hasibuan, meskipun tidak berhasil melakukan tugasnya," ungkap Asvi.

Kebijakan Soekarno pun mengundang reaksi keras dari pelajar dan mahasiswa. Mahasiswa menggelar demonstrasi besar-besaran di Ibukota. Selain menuntut pembubaran PKI,  tuntutan juga ditujukan terhadap kebijakan Presiden Soekarno.

Menurut mahasiswa, rakyat menuntut agar pemerintah mengambil tindakan karena situasi politik di Indonesia pada awal 1966 telah membawa akibat buruk di bidang ekonomi dan sosial.

Tuntutan tersebut dikenal dengan nama Tri Tuntutan Hati Nurani Rakyat (Tritura). Isinya adalah menuntut pembubaran PKI dan ormas-ormasnya, perombakan kabinet Dwikora, dan penurunan harga kebutuhan pokok.

Seperti dikutip dari buku Sejarah Perjuangan TNI Angkatan Darat yang disusun oleh Dinas Sejarah Militer Angkatan Darat, kesatuan aksi pemuda dan mahasiswa saat itu menilai Presiden Soekarno sebagai pemerintah Orde Lama harus ditumbangkan.

Gerakan menentang Orde Lama mencapai puncaknya pada saat pelantikan Kabinet Dwikora pada 24 Februari 1966.

Mahasiwa melakukan boikot dengan melakukan aksi kempes ban  di jalan menuju Istana Negara, memprotes dan menentang pelantikan kabinet.

Mahasiswa dan pelajar juga menuding Soekarno meremehkan tuntutan rakyat dengan perintah-perintah untuk meningkatkan perjuangan menentang Malaysia dan persiapan pelaksanaan Conference of The New Emerging Forces (CONEFO).

CONEFO merupakan gagasan Presiden Soekarno untuk membentuk suatu kekuatan blok baru yang beranggotakan negara-negara berkembang untuk menyaingi dua kekuatan blok sebelumnya, blok Uni Soviet dan blok Amerika Serikat.

Desakan Tentara dan Mahasiswa

Setelah itu, demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi kembali pada tanggal 11 Maret 1966  di depan Istana Negara.

Demonstrasi ini mendapat dukungan dari tentara. Mahasiswa mengepung Istana Kepresidenan dan menuntut Tritura yang salah satunya meminta pembubaran PKI.

Tidak hanya mahasiswa yang mengepung Istana, sejumlah tentara tidak dikenal juga disebut mengelilingi Istana Kepresidenan.

"Diakui oleh Kemal Idris bahwa itu pasukan Kostrad yang dia pimpin, bergabung dengan mahasiswa. Jadi demonya bukan demo yang murni lagi," kata Asvi Warman Adam ketika diwawancarai Kompas.com di Jakarta, Minggu (6/3/2016).

Menurut Asvi, tentara ikut mendukung mahasiswa menuntut pembubaran PKI karena beranggapan bahwa PKI itu berada di balik G30S.

Meskipun, ada sinyalir dukungan tersebut diberikan dalam rangka pengalihan atau perebutan kekuasaan.

PKI dibubarkan pun dinilai bukan karena ideologi, melainkan karena PKI merupakan sebuah partai besar dengan jutaan anggota yang mendukung Soekarno.

Pengepungan Istana oleh tentara tidak dikenal itu merupakan sesuatu yang menakutkan bagi Soekarno. Akhirnya dia memutuskan pergi ke Istana Bogor bersama Soebandrio dan Chaerul Saleh dengan menggunakan helikopter ke Bogor.

"Kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas. Jika kondisinya masih normal Bung Karno akan tetap di Istana Negara," ucap Asvi.

 

Soekarno Mulai Lelah dan Putus Asa

Dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Dibunuh Tiga Kali?, Asvi Warman Adam menulis pidato-pidato Soekarno selama periode 1965-1967 yang menggambarkan betapa sengitnya pergulatan dalam masa peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto.

Di sisi lain, terlihat pula kegetiran seorang Presiden karena ucapannya tidak didengar lagi oleh para jenderal yang dulu sangat patuh kepadanya.

"Komando dan perintahnya tidak dimuat oleh surat kabar, ucapannya dipelintir. Bahkan dia pernah menerima pamflet yang menuduhnya sebagai dalang utama G30S. Soekarno marah dan sangat geram. Ia memaki dalam bahasa Belanda, bahasa yang dikuasainya sampai kosakata caci makinya," tulis Asvi.

Dalam buku versi pemerintah, masa ini dilukiskan sebagai era konsolidasi pendukung Orde Baru; tentara, mahasiswa dan rakyat, untuk membasmi PKI serta membersihkan orang-orang pendukung Soekarno.

Perlawanan dari kelompok  pendukung Soekarno bukannya tidak ada. Sebanyak 92 menteri menyatakan kesetiaannya pada 20 Januari 1966.

Pada 27 Februari 1966 diadakan juga Rapat Raksasa Kesetiaan kepada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno di Bandung.

Beberapa partai politik dan organisasi masyarakat pun tidak membenarkan aksi demonstrasi yang bisa membahayakan jalannya revolusi dan merongrong kewibawaan Pemimpin Besar Revolusi.

Meski begitu, upaya menghancurkan barisan pendukung Soekarno terus dilakukan. Supersemar juga disebut menjadi "surat kuasa" yang ironisnya digunakan untuk menyusutkan kekuatan pendukung Soekarno.

Setelah mendapatkan Supersemar, Soeharto langsung membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, atas tuduhan terlibat G30S.

Memasuki tahun 1966-1967, Soekarno mulai tampak lelah dan putus asa. Bulan Mei 1966 dalam peringatan Hari Kebangkitan Nasional, ia tidak mau bicara.

Pada pelantikan Omar Senoadji sebagai Menteri Kehakiman, Juni 1966, ia hanya berpidato sangat singkat. Ketika kemudian ia berpidato lagi, suaranya sudah semakin lemah.

Namun, semangat "perlawanan" dari Soekarno kembali muncul di hari peringatan proklamasi Indonesia, 17 Agustus 1966.

Dalam pidato yang berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah", Soekarno secara tidak langsung mengungkap bahwa Supersemar disalahtafsirkan untuk mengakhiri kekuasaannya.

"Tapi itu tidak ada artinya lagi. Itu hanya pidato kenegaraan 17 Agustus 1966. Dalam arti, Soekarno boleh bilang begitu, tapi Soeharto tetap memegang kuasa," tutur Asvi.

"Perlawanan" kembali dilakiukan Soekarno dalam pidato Nawaksara yang ditolak oleh MPRS tahun 1966. Dalam pidato itu, Soekarno bersikeras tidak mau membubarkan PKI.

Soekarno mengatakan kemelut yang terjadi diakibatkan dari pertemuan tiga aspek. Pertama, pimpinan PKI yang keblinger.

"Soekarno tetap mengatakan pimpinan yang keblinger, bukan PKI-nya. Merujuk ke biro khusus PKI yang dipimpin Syam Kamaruzaman. Biro yang sifatnya tertutup, bertanggung jawab pada Aidit. Tujuannya melakukan pendekatan dan pengaruh di kalangan tentara," ujar Asvi.

Kedua, subversif Nekolim. Artinya, ada pihak-pihak asing yang diduga sudah masuk ke Indonesia, misalnya Badan Intelijen Amerika Serikat (CIA). Ketiga, ada oknum yang tidak bertanggung jawab.

"Entah ini maksudnya adalah Soeharto atau bukan. Hal itu tidak  dikatakan oleh Soekarno," tutur Asvi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Gelar Halalbihalal, MUI Gaungkan Pesan Kemanusiaan untuk Korban Genosida di Gaza

Nasional
Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Perjalanan BIN 6 Kali Berganti Nama, dari Brani hingga Bakin

Nasional
'Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit'

"Prabowo Banyak Dikritik jika Tambah Kementerian, Baiknya Jaga Kebatinan Rakyat yang Sedang Sulit"

Nasional
Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Pengamat Nilai Putusan MK Terkait Sengketa Pilpres Jadi Motivasi Kandidat Pilkada Berbuat Curang

Nasional
PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

PPP Papua Tengah Klaim Pegang Bukti Kehilangan 190.000 Suara pada Pileg 2024

Nasional
Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Koarmada II Kerahkan 9 Kapal Perang untuk Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Termasuk KRI Alugoro

Nasional
Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Kandidat Versus Kotak Kosong pada Pilkada 2024 Diperkirakan Bertambah

Nasional
Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Rencana Prabowo Bentuk 41 Kementerian Dinilai Pemborosan Uang Negara

Nasional
Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Di MIKTA Speakers’ Consultation Ke-10, Puan Suarakan Urgensi Gencatan Senjata di Gaza

Nasional
KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

KPK Sebut Kasus Gus Muhdlor Lambat Karena OTT Tidak Sempurna

Nasional
TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

TNI AL Ketambahan 2 Kapal Patroli Cepat, KRI Butana-878 dan KRI Selar-879

Nasional
Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Sejarah BIN yang Hari Ini Genap Berusia 78 Tahun

Nasional
Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Presiden Jokowi Bakal Resmikan Modeling Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang Besok

Nasional
Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Di Forum MIKTA Meksiko, Puan Bahas Tantangan Ekonomi Global hingga Persoalan Migran

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Gibran Ingin Konsultasi Kabinet ke Megawati, Pengamat: Itu Hak Presiden, Wapres Hanya Ban Serep

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com