Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?

Kompas.com - 11/03/2016, 06:06 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Polemik Surat Perintah 11 Maret 1966 sudah memasuki usia emas, 50 tahun sejak dikeluarkan.

Namun, hingga saat ini kabut misteri mengenai surat yang dianggap menjadi penanda berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno yang dilanjutkan oleh Soeharto itu belum juga surut.

Perdebatan berawal dari eksistensi atau keberadaan Supersemar yang dicurigai tidak pernah ada. Akan tetapi, keraguan mengenai keberadaan Supersemar itu dianggap sirna setelah munculnya jawaban dari Presiden Soekarno.

Dalam pidato yang disampaikan pada peringatan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno menyebut mengenai Supersemar, yang juga jadi bukti keberadaannya.

Akan tetapi, Soekarno membantah telah memberikan surat kuasa untuk transfer kekuasaan kepada Letjen Soeharto yang ketika itu menjabat Menteri Panglima Angkatan Darat.

"Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer of authority, padahal tidak," kata Soekarno dalam pidato berjudul "Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah" atau lebih dikenal dengan sebutan "Jasmerah".

Soekarno kemudian memberikan penjelasan mengenai alasan dikeluarkannya Supersemar. Menurut Soekarno, Supersemar tak lain sebagai perintah untuk menjaga stabilitas keamanan.

Sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965, situasi politik di Indonesia bisa dibilang genting. Sejumlah aksi kekerasan di berbagai wilayah sudah terjadi, dengan menjadikan anggota atau simpatisan Partai Komunis Indonesia dan kelompok underbouw-nya sebagai sasaran.

Sejarawan Asvi Warman Adam menambahkan, situasi politik di Jakarta, terutama di sekitar Istana Kepresidenan, pada 11 Maret 1966 memicu puncak ketegangan di lingkar kekuasaan.

Sejumlah pasukan tentara tidak dikenal diketahui mengepung Istana Kepresidenan, yang belakangan diketahui merupakan pasukan Kostrad pimpinan Kemal Idris.

Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur melaporkan soal tentara tidak dikenal itu kepada Presiden Soekarno.

Atas laporan itu, Soekarno yang saat itu memimpin sidang kabinet lalu menyerahkan kepemimpinan kepada Wakil Perdana Menteri Johannes Leimena. Soekarno lalu memutuskan untuk terbang ke Bogor dengan helikopter.

"Jika kondisinya masih normal, Bung Karno akan tetap di Istana Negara. Artinya, kondisi pada saat itu sudah sangat meruncing dan panas," ujar Asvi Warman Adam saat ditemui Kompas.com  akhir pekan lalu (6/3/2016).

Melihat rawannya situasi saat itu, penjelasan Soekarno mengenai Supersemar itu pun memiliki konteks yang bisa dipahami. Surat Perintah itu ditulis Soekarno untuk menjamin keselamatan dirinya, juga keluarga.

"Itu juga perintah pengamanan pribadi presiden, perintah pengamanan wibawa presiden, perintah pengamanan ajaran presiden, perintah pengamanan beberapa hal. Dan Jenderal Soeharto telah melaksanakan perintah itu dengan baik," ujar Soekarno dalam "Jasmerah".

Ditafsirkan berbeda

Asvi Warman Adam menilai perintah Presiden Soekarno itu ditafsirkan berbeda oleh Menpangad Letjen Soeharto.

Penafsiran yang berbeda itu pertama kali diimplementasikan saat Soeharto membuat Surat Kebijakan Nomor 1/3/1966 atas nama Presiden Soekarno, untuk membubarkan PKI.

KOMPAS Salinan Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar
Soeharto dianggap keliru dalam menafsirkan kata "mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi".

"Itu yang dijadikan dasar untuk pembubaran PKI. Jadi sangat sakti surat itu," tutur Asvi.

Soekarno, dalam penuturan Asvi, marah terhadap keputusan Soeharto. Surat keputusan untuk membubarkan PKI diminta Soekarno untuk segera dicabut. Namun, Soeharto menolak. Di titik inilah dugaan Supersemar menjadi "alat kudeta" muncul.

"Soekarno melihat kekeliruan di situ, tapi Soeharto tetap melanjutkan yang dilakukannya," tutur Asvi.

Supertasmar

Tidak hanya marah, Soekarno kemudian membuat surat perintah baru yang menyatakan Supersemar itu tidak sah. Surat perintah itu dibuat pada 13 Maret 1966, yang dikenal dengan sebutan Supertasmar.

Keberadaan mengenai Supertasmar itu terungkap di biograi AM Hanafi, mantan Duta Besar di Kuba, yang berjudul Menggugat Kudeta Jenderal Soeharto: Dari Gestapu ke Supersemar (1998).

AM Hanafi menjelaskan, Supertasmar itu mengumumkan bahwa Supersemar bersifat administratif/teknis, dan tidak politik. Soeharto juga diminta tidak melampaui wewenangnya dan memberi laporan ke presiden.

"Hanafi disuruh untuk menghubungi beberapa orang dan menyebarkan surat untuk membantah Supersemar. Tapi dia tidak punya jalur lagi," tutur Asvi.

Hanafi sempat menghubungi mantan Panglima Angkatan Udara Suryadharma. Namun, Suryadharma mengaku tidak lagi punya saluran untuk menyebarkan surat perintah baru dari Presiden Soekarno itu.

"Pers pun tidak mau memberitakan," tutur Asvi Warman.

Hingga saat ini, keberadaan Supertasmar pun tidak jelas. Kepala Arsip Nasional RI Mustari Irawan juga mengakui lembaganya tidak memiliki naskah atau salinan mengenai Supertasmar itu.

"Kudeta merangkak"

Perbedaan pandangan ini kemudian menjadi dasar yang menyebut bahwa Presiden Soekarno menerbitkan Supersemar bukan atas kehendaknya.

Selama ini memang ada sejumlah kabar yang menyebut Soekarno berada dalam tekanan saat menyerahkan Supersemar kepada Letjen Soeharto, melalui tiga jenderal yang menjadi utusan.

Adapun tiga jenderal itu adalah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Muhammad Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud.

Versi lain menyebut kehadiran jenderal keempat, Mayjen Maraden Panggabean.

Istimewa/Arsip Kompas Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto
Versi kehadiran Maraden Panggabean itu diungkap mantan penjaga keamanan Istana Bogor, Sukarjo Wilardjito.

Menurut mantan Kepala Arsip Nasional RI, M Asichin, dalam wawancara kepada Arsip Nasional RI pada 2005, Sukarjo bahkan mengaku menyaksikan penodongan kepada Soekarno oleh Panggabean.

Asvi Warman Adam meragukan kebenaran cerita Sukarjo. Menurut dia, yang bisa mendekat ke ring 1 Presiden Soekarno bukan orang sembarangan.

"Tidak mungkin juga ada jendral yang berani menodong Soekarno. Saya juga tidak yakin Panggabean itu berani," ujar peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut.

Istilah dipaksa dianggap Asvi tidak tepat. Soekarno dianggap lebih tepat disebut berada dalam tekanan.

"Tidak hanya oleh tiga orang jendral, tapi oleh serangkaian kejadian dan peristiwa yang menyebabkan Soekarno tidak punya pilihan lain selain Soeharto," ucapnya.

Asvi Warman Adam memiliki istilah sendiri untuk situasi itu: Kudeta merangkak.

Soeharto sendiri sudah membantah mengenai tuduhan kudeta. Dikutip dari arsip Harian Kompas, Soeharto yang saat itu menjabat presiden mengatakan bahwa Supersemar hanya digunakan untuk "membubarkan PKI dan menegakkan kembali wibawa pemerintahan".

"Saya, kata Presiden Soeharto, tidak pernah menganggap Surat Perintah 11 Maret sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan mutlak. Surat Perintah 11 Maret juga bukan merupakan alat untuk mengadakan kup terselubung," demikian kutipan di Harian Kompas terbitan 11 Maret 1971.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Pemerintahan Baru dan Tantangan Transformasi Intelijen Negara

Nasional
Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, 'Push Up'

Tegur Pemohon Telat Datang Sidang, Hakim Saldi: Kalau Terlambat Terus, "Push Up"

Nasional
KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

KPK Sebut Keluarga SYL Sangat Mungkin Jadi Tersangka TPPU Pasif

Nasional
Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Timnas Kalah Lawan Irak, Jokowi: Capaian hingga Semifinal Layak Diapresiasi

Nasional
Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Kunker ke Sumba Timur, Mensos Risma Serahkan Bansos untuk ODGJ hingga Penyandang Disabilitas

Nasional
KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Kembali Panggil Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Teguran Hakim MK untuk KPU yang Dianggap Tak Serius

Nasional
Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Kuda-kuda Nurul Ghufron Hadapi Sidang Etik Dewas KPK

Nasional
Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Laba Bersih Antam Triwulan I-2024 Rp 210,59 Miliar 

Nasional
Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Jokowi yang Dianggap Tembok Besar Penghalang PDI-P dan Gerindra

Nasional
Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo', Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Sebut Jokowi Kader "Mbalelo", Politikus PDI-P: Biasanya Dikucilkan

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri 'Triumvirat' Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

[POPULER NASIONAL] PDI-P Harap Putusan PTUN Buat Prabowo-Gibran Tak Bisa Dilantik | Menteri "Triumvirat" Prabowo Diprediksi Bukan dari Parpol

Nasional
Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 5 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Sempat Berkelakar Hanif Dhakiri Jadi Menteri, Muhaimin Bilang Belum Ada Pembicaraan dengan Prabowo

Nasional
PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

PKS Janji Fokus jika Gabung ke Prabowo atau Jadi Oposisi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com