Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarawan: PP Turunan UU Kearsipan Perlu Diterbitkan untuk Cari Naskah Supersemar Asli

Kompas.com - 10/03/2016, 17:59 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Belum ditemukannya arsip Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 sampai berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto tahun 1998 menimbulkan pertanyaan di masyarakat.

Menurut peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam, sejak Orde Baru runtuh, upaya pencarian naskah otentik terus dilakukan.

Salah satu instrumen yang bisa digunakan adalah Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan.

UU kearsipan itu berisi aturan tentang sanksi maksimal hukuman penjara selama 10 tahun bagi orang yang menyimpan arsip negara dan tidak menyerahkannya kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Selain itu, Daftar Pencarian Arsip (DPA) juga disinggung.

(Baca: Arsip Supersemar 1966)

Sayangnya, sampai sekarang, peraturan pemerintah atas UU Kearsipan belum dikeluarkan.

"Sebenarnya, ini bisa menjadi jalan keluar untuk mencari Supersemar," ujar Asvi dalam diskusi bulanan Penulis Buku Kompas di Bentara Budaya Jakarta, Palmerah Selatan, Kamis (10/3/2016).

Menurut Asvi, apabila pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, maka ANRI akan punya wewenang untuk menggeledah rumah mantan Presiden RI, Soeharto, di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Asvi percaya, naskah otentik Supersemar masih disimpan oleh Soeharto atau keluarganya.

"Soeharto orang yang sangat menghargai benda-benda yang memiliki arti bagi dirinya," kata Asvi.

(Baca: Supersemar dan Kontroversinya)

Oleh karena itu, ia mengusulkan kepada pemerintah untuk segera menerbitkan PP atas UU Kearsipan agar ANRI memiliki wewenang lebih luas dalam melakukan pencarian arsip-arsip sejarah nasional.

"Dengan ada ketentuan ini, maka petugas arsip, misalnya, dapat memeriksa rumah mantan Presiden RI,  Soeharto, di Jalan Cendana kalau-kalau arsip itu masih terselip di sana," kata Asvi.

Dokumen Supersemar yang diteken Presiden pertama RI, Soekarno, pada 11 Maret 1966, menjadi momentum peralihan kuasa kepada Soeharto yang kemudian menjadi presiden RI selanjutnya.

Isi Supersemar itu mengundang kontroversi karena beberapa pihak yakin bahwa tak ada klausul penyerahan kekuasaan. Yang ada hanyalah instruksi Presiden Soekarno kepada Soeharto untuk menstabilkan situasi Tanah Air yang kacau-balau.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com