Alasan penerimaan Indonesia menjadi tuan rumah KTT OKI yang akan diselenggarakan pada 6-7 Maret 2016 karena Indonesia ingin berperan sebagai penengah konflik internal Palestina antara Hamas dan Fatah agar negara Palestina merdeka cepat terwujud.
Apakah Indonesia dapat menjadi penengah yang baik dalam konflik ini, adalah pertanyaan yang jawabannya ditunggu oleh masyarakat internasional. Itulah opini yang ditulis Siti Mutiah Setiawati dalam artikel berjudul, “Tak Mudah Menjadi Penengah” di Kompas Sabtu (5/3/2016).
Artikel kedua yang bisa dibaca besok ditulis Sidharta Susila berjudul “Aborsi Pendidikan”.
Tahun pembelajaran baru masih beberapa bulan ke depan. Namun, geliat mendapatkan siswa baru telah gencar digerakkan.
Bagaimanapun, adanya siswa adalah keniscayaan bagi kehidupan sebuah sekolah. Adalah tragedi apabila demi keberlangsungan hidup sekolah, siswa hanyalah angka.
Pada kondisi itu, siswa tak lagi disikapi dan digulati sebagai pribadi. Ia tak lebih sarana untuk menjaga keberlangsungan hidup sekolah. Nasibnya lebih rendah daripada martabat budak: ia cuma sarana tak berjiwa.
Adalah hal yang pantas disyukuri ketika masyarakat ikut terlibat mengelola pendidikan di negeri ini. Mereka melakukannya dengan membangun sekolah swasta.
Ada beragam alasan mengapa membangun sekolah swasta. Kini, kita mengenal sekolah swasta berbasis agama dan swasta nasional.
Terkait soal pendidikan, Guru Besar ITB, Iwan Pranoto dalam tulisan berjudul “Meragui” mengungkapkan, mengutip hasil penelitian LIPI ke kampus- kampus. Anas Saidi dan kawan-kawan menemukan bahwa mahasiswa bidang IPA di pendidikan umum (nirkeagamaan) lebih rentan terindoktrinasi (CNN Indonesia, 18/2/2016).
Senada dengan itu, sebelumnya M Zaid Wahyudi menyatakan bahwa anak- anak yang terbujuk radikalisme keliru ini umumnya dari sekolah atau perguruan tinggi favorit dan program eksakta (Kompas Siang, 13/4/2015).
Bagaimana menjelaskan fenomena menentang intuisi ini? Bukankah sejatinya pembelajaran IPA justru menyuburkan rasionalitas? Tak mungkinkah ada yang keliru dalam praktik pendidikan IPA di Tanah Air?
Keadaan seseorang yang mudah terbujuk dan memercayai sesuatu, walau sesungguhnya meragukan, diistilahkan sebagai credulous. Keadaan credulous ini memiliki penangkal alami, yakni kebiasaan berakal, antara lain perangai skeptis atau meragui.
Baca lebih lengkap ulasan mereka di opini di harian Kompas edisi Sabtu (05/03/2016). Bagi yang belum berlangganan, silakan kunjungi http://kiosk.kompas.com. Harian Kompas juga bisa diakses via e-paper di http://epaper.kompas.com. Selain itu, bisa dinikmati versi webnya di http://print.kompas.com.