BANYUASIN, KOMPAS.com - Pemerintah, kini memiliki ujung tombak pencegahan peristiwa kebakaran hutan dan lahan. Tim itu bernama "Brigade".
Brigade merupakan tim darurat tingkat desa yang dibentuk oleh lintas lembaga negara dan pemerintahan, akhir 2015 yang lalu.
Mulai dari Kementerian Lingkungan Hidup, Polri, TNI, BNPB hingga Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota yang rawan akan peristiwa itu.
Di Provinsi Sumatera Selatan misalnya. Telah didirikan 15 posko Brigade yang tersebar di desa tiga kabupatennya.
Jumat (4/3/2016) kemarin, Kompas.com dan beberapa wartawan berkesempatan untuk mengunjungi satu di antaranya, yakni Posko Brigade Desa Sungai Rengit Induk, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin.
Tugas pokok
Menempati rumah seluas sekitar 10x12 meter yang disewa Rp 1 juta per bulan di tengah desa, Brigade memulai aktivitasnya sejak Februari 2016. Satu Brigade terdiri dari enam orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
"Satu Posko itu enam orang. Satu orang TNI Babinsa, satu polisi dari Babinkamtimbas, dua dari Manggala Agni Kementerian Lingkungan Hidup dan dua orang warga setempat," ujar Kepala Polres Banyuasin AKBP Julian Muntaha.
Tugas mereka dua. Pertama, memberikan penyuluhan kepada warga bahwa tidak boleh membuka lahan atau cara dibakar. Kedua, langsung menuju titik api untuk dipadamkan jika ada laporan titik panas.
Julian manambahkan, jika menemukan titik api yang besar, Brigde wajib melaporkannya ke Satgas kebakaran hutan, yakni satuan yang dibentuk di tingkat kecamatan.
Tujuannya yakni penambahan bantuan peralatan pemadaman api.
"Brigade dibekali dua motor trail dan enam pompa air personal. Jika titik apinya besar, maka dibantu peralatan dari Satgas," ujar Julihan.
Belum kerja keras
Karena baru dibentuk, Brigade belum bekerja terlalu keras. Setiap hari, mereka hanya datang ke desa-desa memberikan penyuluhan dan sosialisasi soal pencegahan kebakaran hutan dan lahan.
"Tahun ini belum ada kejadian kebakaran apa-apa. Mungkin karena masih musim penghujan ya," ujar Serda Suliyan, Babinsa Koramil 40108 Tanjung Kelapa.
Namun, beberapa pekan lalu, tim dikejutkan dengan laporan hot spot di wilayahnya dari Mabes Polri. Setelah dicek, rupanya titik api itu berasal dari pembakaran jerami usai petani padi panen.
"Saya kejar dengan Polisi Babinkamtibmas naik motor, ternyata bukan kejadian besar. Ya tapi kami imbau petani untuk mematikan api itu," cerita Suliyan.
Dengan segala persiapan yang ada, Suliyan yakin kebakaran hutan dan lahan di wilayah kekuasaannya tahun ini lebih kecil dibanding tahun lalu.
Pesan untuk Presiden
Menjadi ujung tombak pemerintah bukan berarti kesejahteraan mereka terjamin. Salah seorang Anggota Manggala Agni, Muslim, bercerita bahwa dia hanya mendapat honor Rp 1,6 juta per bulan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Dengan pola kerja yang tidak menentu serta risiko yang dihadapi, Muslim yang memiliki seorang istri dan tiga anak yang masih kecil-kecil merasa, uang itu tidaklah seberapa.
"Ya untungnya istri saya di kampung, jual-jual baju. Jadi ada tambahanlah. Nah, kalau yang lain yang enggak punya sampingan gimana?" ujar dia.
"Makanya, mungkin Bapak Presiden atau para pejabat lainnya bisa beri kami kesejahteraan. Status kami juga tidak jelas, kami ini sudah dianggap ujung tombak, tapi ya begini saja," tutur Muslim.
Satu-satunya yang membuat Muslim dan para kawannya bertahan adalah kecintaannya pada alam.
Kekompakan yang telah mengubah mereka menjadi saudara satu sama lain itu juga menambah ketabahan mereka.
Bahkan, hal itu membuat mereka semakin dapat diandalkan sebagai ujung tombak pemerintah demi tidak terulangnya kembali bencana asap 2015. Ya, nasib si ujung tombak...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.