JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai, revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki urgensi.
Menurut dia, rencana revisi tersebut cenderung terlihat sebagai program legislasi yang didasari kepentingan politik.
"Ini adalah legislasi politik. Keinginan revisi UU hanya dilandasi rasa ketidaksukaan terhadap KPK," kata Bivitri di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (11/2/2016).
Menurut Bivitri, revisi UU seharusnya dilandasi kepentingan yang sangat mendesak. Misalnya, UU yang lama dinilai dan dibuktikan tidak mampu meningkatkan efektivitas KPK. (baca: Kewenangan SP3 bagi KPK Dikhawatirkan Diperjualbelikan)
"Kami tidak melihat ada masalah konstitusional di KPK. Bahkan, dari segi efektivitas, KPK masih cukup efektif dibanding lembaga penegak hukum lain," kata Bivitri.
Setidaknya, terdapat dua hal yang membuktikan revisi UU KPK tidak memenuhi syarat urgensi. Pertama, meski telah berkali-kali diajukan uji materi, Mahkamah Konstitusi tidak pernah sekalipun menyebutkan bahwa UU KPK menyalahi konstitusi.
Kedua, dalam data 2014, KPK mendapat predikat sebagai institusi penegak hukum yang paling berhasil dalam pemberantasan korupsi. (baca: Ruhut Tagih Janji Jokowi untuk Kuatkan KPK)
Berdasarkan statistik, pada 2014 Kepolisian menangani 123 kasus dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 132 miliar.
Kemudian, Institusi Kejaksaan, selama 2014 menangani 472 kasus korupsi dengan nilai kasus mencapai Rp 1,7 triliun.
Sementara KPK, pada 2014 berhasil menangani 34 kasus korupsi, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 3 triliun. (baca: SBY Tiba-tiba Instruksikan F-Demokrat Tolak Revisi UU KPK)
Menurut Bivitri, rencana revisi UU KPK sangat dipengaruhi keresahan sejumlah politisi dan pejabat publik yang khawatir kasus korupsinya akan dibongkar oleh KPK.
Dengan demikian, argumentasi bahwa diperlukan revisi karena KPK tidak efektif, adalah argumentasi yang tidak benar. (baca:Penolakan Publik atas Revisi UU KPK Jadi Pertimbangan Jokowi)
Revisi yang sudah disepakati sejauh ini meliputi pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan harus seizin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Kemudian, larangan bagi pimpinan KPK yang mengundurkan diri untuk menduduki jabatan publik, serta pemberhentian bagi pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.