Munas akan diselenggarakan oleh kepengurusan Golkar hasil Munas Riau 2009 di bawah kepemimpinan Ketua Umum Aburizal Bakrie.
Penyelenggaraan Munas menjadi ajang pertarungan bagi para calon Ketua Umum Partai Golkar. Seperti apa karakter ketua umum yang dibutuhkan Golkar saat ini.
Senior Golkar, BJ Habibie, pada Rapat Pimpinan Nasional, Januari 2016 lalu, berpesan agar partai melakukan regenerasi kepemimpinan.
Dua pimpinan Golkar yang sempat berseteru, Aburizal Bakrie dan Agung Laksono, menyatakan tak akan maju mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Keinginan keduanya untuk tidak maju diapresiasi.
"Aburizal dan Agung tidak muncul lagi memang bagus saja. Tapi apa iya para kandidat yang muncul tidak mencerminkan patronase sebelumnya?" ujar pengamat politik dari Universitas Gajah Mada, Arie Sudjito saat dihubungi Kompas.com, Kamis (11/2/2016).
Sejumlah kader yang sudah menyataan akan mencalonkan diri, di antaranya, Idrus Marham, Roem Kono, Mahyudin, dan Aziz Syamsudin.
Sementara, lainnya, seperti Ade Komarudin, Setya Novanto, Priyo Budi Santoso, Agus Gumiwang Kartasasmita, Agun Gunandjar, Gusti Iskandar, Fadhel Muhammad, dan Airlangga Hartarto, belum secara tegas menyatakan kesiapannya.
Menurut Arie, banyaknya kader Golkar yang ingin menjadi kandidat ketua umum menunjukkan bahwa demokrasi berjalan di tubuh partai tersebut.
Akan tetapi, ia memberikan catatan bahwa sejumlah nama yang mencuat menunjukkan adanya patronase kekuatan di belakang mereka.
"Nampak jelas gengnnya siapa, Akbar Tanjung patron gengnya ada. JK juga punya irisannya. Aburizal Bakrie dan Agung Laksono juga. Bahwa di Golkar itu patronasenya masih bekerja," ujar Arie.
Hilangkan sentimen patronase
Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menilai, siapapun yang akan menjadi calon ketum Golkar harus menghilangkan sentimen patronase politik tersebut.
Sebab, tugas ketum baru Golkar ke depan akan cukup berat untuk membenahi kondisi internal partai.
Konflik internal Golkar yang terjadi selama ini telah menghasilkan dualisme kepengurusan tak hanya di level DPP tetapi juga di DPD tingkat I dan II.
Konflik ini juga dianggap sebagai salah satu faktor terdelegitimasinya kepercayaan publik terhadap Golkar.
Oleh karena itu, menurut Siti, Golkar harus memanfaatkan Munas sebagai jalan konsolidasi dan rekonsiliasi bersama.
Selain itu, momen untuk proses regenerasi kepemimpinan sehingga mengakomodir keinginan kedua belah pihak.
"Kalau dia menempatkan diri sebagai partai pembaharu, seharusnya ketum ke depan bukan berdasarkan patron, bukan tokoh sentral juga. Tetapi semata-mata sebagai manajer partai. Jika ini dilakukan, maka ini akan menjadi langkah kebangkitan Golkar," kata Siti.
Ia menambahkan, siapapun yang nantinya menjadi ketua umum Golkar, perlu mendengar suara kader muda partai.
"Tapi tentu proses rekruitmen itu tidak liar dan harus sesuai dengan AD/ART partai," ujarnya.
Anggota angkatan muda Partai Golkar, Ahmad Dolly Kurnia mengatakan, penyelesaian konflik Golkar melalui Munas merupakan momentum untuk menumbuhkan harapan baru kepada masyarakat.
Harapan baru itu tergantung apakah Golkar bisa menumbuhkan legitimasi baru dari publik.
"Untuk memperoleh legitimasi baru, tentu Munas kali ini menjadi tolok ukur yang akan menjadi penilaian," kata Dolly.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.